Dalam Tiga Tahun, Ekspor Produk Peternakan Indonesia Mencapai Rp30,15 Triliun

Peternakan sapi perah skala peternakan rakyat (dok. dkppjabarprov.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) I Ketut Diarmita mengatakan, pencapaian sektor peternakan di Indonesia sangat besar, yang ditandai dengan realisasi ekspor produk peternakan tahun 2015 hingga Semester I 2018 mencapai Rp30,15 triliun. “Kontribusi ekspor terbesar pada kelompok obat hewan yang mencapai Rp21,58 triliun ke 87 negara tujuan ekspor,” ungkap Ketut, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (14/11).

Selain obat hewan, tingginya nilai ekspor peternakan turut disumbang oleh ekspor babi ke Singapura sebesar Rp3,05 triliun, susu dan olahannya sebesar Rp2,32 triliun ke 31 negara, dan bahan pakan ternak asal tumbuhan sebanyak Rp2,04 triliun ke 14 negara. Kemudian ada pula produksi hewan non pangan, telur ayam tetas, daging dan produk olahannya, pakan ternak, kambing/domba, day old chicken (DOC) serta semen beku.

Peluang perluasan pasar untuk komoditas peternakan di pasar global, disebut Ketut, masih sangat terbuka luas. Adanya permintaan dari negara di daerah Timur Tengah dan negara lain di kawasan Asia sangat berpotensi untuk dilakukan penjajakan. “Keunggulan halal dari kita juga dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk ekspor produk peternakan ke wilayah tersebut dan negara muslim lainnya,” tambahnya.

Pada saat ini masalah kesehatan hewan dan keamanan produk hewan menjadi isu penting dalam perdagangan internasional dan seringkali menjadi hambatan dalam menembus pasar global. Untuk memanfaatkan peluang ekspor, I Ketut Diarmita menyebutkan, perlu adanya dukungan dari seluruh stakeholder terkait, terutama dalam penerapan standar-standar internasional mulai dari hulu ke hilir.Penerapan standar internasional diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk peternakan Indonesia.

“Status kesehatan hewan menjadi kunci utama untuk membuka peluang ekspor ke negara lain. Kami melalui berbagai kesempatan internasional maupun regional, Indonesia secara konsisten memberikan informasi terkait jaminan kesehatan hewan dan keamanan pangan untuk produk yang akan di ekspor guna menembus dan memperlancar hambatan lalulintas perdagangan,” jelasnya.

Ekspor komoditas unggas juga dinilai Ketut masih berpotensi untuk ditingkatkan. Untuk itu, saat ini Kementerian Pertanian terus melakukan restrukturisasi perunggasan, terutama untuk unggas lokal di sektor 3 dan 4 yang menjadi sumber utama outbreak penyakit Avian Influenza (AI).

Selain itu, Kementan melalui Ditjen PKH terus menerus berusaha untuk membangun kompartemen-kompartemen AI dari penerapan sistem biosecurity, yang awalnya hanya 49 titik, saat ini sudah berkembang menjadi 141 titik. Empat puluh titik titik lagi masih menunggu untuk proses sertifikasi.

“Kementan terus mendesign kegiatan ini agar peternak lokal dapat menerapkannya karena kompartemen-kompartemen yang dibangun oleh Indonesia ini dapat diakui oleh negara lain, dengan terbentuknya kompartemen-kompartemen, maka Indonesia dapat ekspor, terus ekspor dan ekspor lagi,” terang Ketut.

Mencermati kondisi industri peternakan Indonesia saat ini dan ke depan, Ketut menyampaikan, saat ini kita sedang menuju swasembada protein hewani. Ini artinya sumber protein hewani yang dikonsumsi masyarakat berasal dari keanekaragaman ternak, tidak tergantung pada satu macam sumber protein saja.

“Untuk itulah, dilakukan penguatan peningkatan produksi dan produktivitas tidak hanya untuk sapi dan kerbau, namun kita juga mendorong bertumbuh kembangnya ternak lainnya, seperti kambing, domba, kelinci, unggas, dan sapi perah,” sambungnya.

Populasi sapi dari tahun 2014 sampai tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 12,6 persen. Populasi kerbau dari tahun 2014 sampai tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 4,5 persen. Demikian juga dengan populasi komoditas ternak lainnya, seperti babi, kambing, domba, ayam buras, ayam ras pedaging dan petelur, serta itik.

Terkait pengembangan komoditas sapi/kerbau, telah terjadi loncatan populasi yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan populasi sapi-kerbau dari periode tahun 2014-2017 mengalami loncatan kenaikan pertumbuhan menjadi sebesar 3,83 persen per tahun, dibanding pertumbuhan populasi pada periode tahun 2012 – 2014 dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya yang menurun sebesar (1,03%).

Untuk mempercepat peningkatan populasi sapi/kerbau pada tahun 2015-2016 telah dilakukan program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB). Selanjutnya pada Oktober 2016 Kementan memperluas program ini dengan lebih mengoptimalkan pelayanan reproduksi kepada sapi-sapi milik peternak melalui Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting) yang bertujuan untuk mempercepat peningkatan populasi sapi di tingkat peternak.

“Esensi Upsus Siwab adalah mengubah pola pikir petani ternak, yang cara beternaknya selama ini masih bersifat sambilan, menuju ke arah profit dan menguntungkan bagi dirinya,” jelas Ketut.

Berdasarkan perhitungan analisa ekonomi, jika harga anak sapi lepas sapih rata-rata sebesar 8 juta rupiah, sedangkan hasil Upsus Siwab 2017-2018 sebanyak 2,38 juta ekor, maka akan diperoleh nilai ekonomis sebesar Rp19,08 triliun. “Nilai yang sangat fantastis mengingat investasi program Uspsus Siwab 2017-2018 hanya sebesar Rp1,41 triliun, sehingga ada kenaikan nilai tambah di peternak sebesar Rp17,67 triliun,” pungkasnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.