Dana Dukungan Industri Sawit Harus Sejahterakan Petani Sawit

Buruh Perkebunan Sawit (Dok. Sawit Watch)
Buruh Perkebunan Sawit (Dok. Sawit Watch)

Jakarta, Villagerspost.com – Pemerintah akhirnya menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penetapan Pengutipan Dana Dukungan Industri Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dalam bentuk CSF (CPO Support Fund). Dana Dukungan Industri Sawit itu sendiri dinilai masih menimbulkan pro-kontra, namun di satu sisi diakui juga memberikan harapan baru bagi petani sawit.

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan, para petani sawit sangat berharap CSF tersebut dapat memberikan manfaat buat petani sawit. “Asalkan skemanya harus jelas dan langsung ke petani,” kata Darto dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (8/5).

PP tersebut merupakan dasar hukum untuk mengutip dana sebesar US$50 per ton CPO dan US$30 untuk produk turunannya. Kutipan tersebut akan digunakan oleh pemerintah untuk pengembangan industri hilir biodiesel dengan mandatori 15%, di samping itu juga dimaksudkan untuk peningkatan produktivitas dan peremajaan kelapa sawit (replanting) bagi petani sawit dan dapat menstabilkan harga CPO.

SPKS, kata Darto, mengapresiasi inisiatif pemerintah ini. Namun belajar dari sejumlah pengalaman sebelumnya, dana-dana yang dikelola oleh pemerintah untuk petani khususnya petani sawit semacam ini pada akhirnya lebih banyak ditujukan untuk sektor swasta yang dilakukan dengan cara melalui skema kemitraan dengan petani.

“Sementara skema kemitraan yang ada saat ini saja masih belum memberikan manfaat buat petani sawit alias tidak berkeadilan,” ujarnya.

SPKS menduga, CPO Support Fund ini sama modelnya dengan subsidi bunga dari APBN sejak 2006 dalam skema revitalisasi perkebunan yang pada januari 2015 kemarin telah dihentikan oleh Kementerian Keuangan. Dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan pemerintah, CSF ini ditengarai tidak akan berbeda jauh dari skema subsidi  bunga yang diatur sebelumnya.

Subsidi bunga sejak 2006 yang berjumlah hampir Rp300 miliar yang bersumber dari APBN, nyatanya hanya memberi manfaat dan keuntungan buat swasta belaka dan bukan petani sawit. “Terutama petani mandiri yang jumlahnya nyaris separuh dari total produsen buah sawit di Indonesia,” tegas Darto.

SPKS dengan tegas meminta pemerintah untuk mengubah dan memperbaiki skema kemitraan yang ada saat ini sebagaimana diatur dalam UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan ataupun Permentan 98 tahun 2013 dengan aturan khusus yang lebih berkeadilan sehingga CSF tersebut bermanfaat bagi petani. Pada dasarnya CSF juga bersumber dari petani sawit melalui skema pemotongan Harga TBS petani sawit oleh perusahaan di tingkat pasokan ke pabrik pengolahan.

Karena itu, petani sawit berhak mendapatkannya. SPKS menyarankan kepada pemerintah untuk menerapkan prinsip keadilan dan mendorong kemandirian bagi petani kelapa sawit Indonesia agar seluruh koperasi dan kelompok petani dapat melakukan peremajaan secara mandiri dengan bibit yang berkualitas, Pengadaan pupuk, perbaikan infrastruktur pengangkutan, kapasitas pengelolaan kebun sawit secara berkelanjutan dan dana konservasi lingkungan hidup akibat deforestasi.

“Jika CSF  tersebut hanya memberikan manfaat buat pengusaha dan atau sebagian saja stakeholders industri sawit, petani sawit di Indonesia akan tetap menjerit dan dirugikan,” tegas Darto.

SPKS sebagai organisasi petani kelapa sawit, kata Darto, perlu menegaskan sikap ini kepada pemerintah, agar tidak salah arah dalam implementasinya. Kecenderungan pemerintah, selalu mengklaim dana-dana untuk sawit untuk petani sawit.

Namun sejak tahun 2006 hingga sekarang, petani sawit tidak pernah menikmatinya, karena disalurkan melalui pengusaha. “Kini pemerintah kembali membuat mekanisme dengan CPO Fund, harapan kami harus langsung diberikan kepada koperasi,” pungkas Darto. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.