Deforestasi di Aceh Ancam Habitat Orangutan

Orangutan Sumatera, terancam habitatnya oleh deforestasi (dok. worldwildlife.org)
Orangutan Sumatera, terancam habitatnya oleh deforestasi (dok. worldwildlife.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) meyakini konflik orang utan, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser, terjadi akibat deforestasi atau penyusutan hutan. Deforestasi yang terus terjadi dalam beberapa dekade terakhir di Aceh dan Sumatera Utara berdampak luas pada pengurangan habitat orangutan.

“Deforestasi telah memicu konflik manusia dengan orangutan. Konflik ini menimbulkan kerugian, baik di pihak orang utan maupun manusia,” kata Ricko Laino Jaya, dari Orangutan Information Center (OIC), dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Kamis (29/9).

Secara ekonomi, konflik yang ditimbulkan merugikan pemilik lahan pertanian. Sedangkan di sisi satwa liar, penanganan yang tidak tepat menyebabkan satwa terlukai atau bahkan berakibat kematian. “Contohnya adalah kasus gajah yang terjadi di Aceh Timur akibat konflik dengan pemilik lahan. Serta kasus orangutan terluka dari situasi konflik yang dievakuasi oleh HOCRU-OIC,” terang Ricko.

Dari tahun 2012, tim Human and Orangutan Conflict Response (HOCRU)–Orangutan Information Centre (OIC) bersama mitra telah melakukan penyelamatan terhadap 106 individu orangutan dari Aceh dan Sumatera Utara di mana 60 persen(63 individu) berasal dari Aceh. Dari jumlah tersebut individu yang dievakuasi dari habitat terisolir sebanyak 57 persen (36 individu) dan dari kepemilikan ilegal 43 persen (27 individu).

“Dimana terdapat titik api, penebangan hutan dan kejahatan hutan di dalam Kawasan Ekosistem Leuser, disanalah kami menemukan kasus konflik manusia-orangutan paling banyak,” terang Ricko.

Untuk sebaran konflik, paling parah terjadi di Aceh Selatan dan Aceh Tamiang. Selain itu HOCRU-OIC juga telah menangani satu kasus yang berkaitan dengan kepemilikan ilegal dengan vonis dua tahun penjara dan satu  kasus lainnya yang masih dalam proses.

Sementara itu, menurut Ian Singleton, Ph.D., dari Yayasan Ekosistem Lestari-Program Konservasi Orangutan Sumatera, sebelum masa konflik Aceh, hutan Aceh terus berkurang tapi selama konflik relatif stabil karena perkebunan tidak aktif dan juga sebagian besar petani yang berkebunan di pinggir hutan juga tidak rajin kerja.

“Tetapi, sesudah konflik selesai dan masa kedamaian mulai, kondisi sebelumnya telah kembali dan kerusakan dan kehilangan hutan terus terjadi lagi,” jelasnya.

Ian juga melihat, pemerintah Aceh tidak terlalu serius dan berkomitmen tinggi terhadap kelestarian hutan dan konservasi. “Itu terbukti karena kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser sampai sekarang tidak masuk sama sekali dalam RTRW Aceh dan dengan keadaan Pergub yang jelaskan cara-cara untuk dapat izin konsesi di dalam KEL,” ujarnya.

Ancaman-ancaman kepada hutan Aceh saat ini terutama akibat dari konversi hutan untuk meluaskan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan energi, dan pembukaan jalan yang membuka akses baru untuk perambahan dan konversi, untuk perburuan, dan memotong habitat satwa melalui fragmentasi. Pemerintah berdalih, pembukaan hutan ini adalah untuk kepentingan perekonomian nasional.

Namun Ian mempertanyakan dalil itu. Dia menilai, jumlah dan skala bencana di Aceh sangat signifikan dan kehilangan dan kerugian ekonomi juga sangat signifikan. “Sebenarnya, tidak terbukti sama sekali bahwa konversi dan kerusakan ini menuntungkan ekonomi propinsi maupun daerah,” jelasnya.

Bank Dunia mencatat, kerugian ekonomi akibat banjir di akhir tahun 2006 di Aceh mencapai US$210 juta. Contoh lain, Bank Dunia juga mencatat kerugian ekonomi Pemerintah Indonesia akibat kebakaran hutan di tahun 2015 mencapai US$16,1 miliar.

“Pemerintah selalu mengklaim bahwa kita harus mendorong pembangunan ekonomi melalui sawit, proyek, dan sebagainya, tetapi kerugian ekonomi yang didapat jelas lebih tinggi daripada keuntungannya. Dan sebenarnya, siapa yang membayar mahal kerugian tersebut? Siapa yang menderita dari bencana-bencana alam? Masyarakat Aceh,” tegas Ian.

Seharusnya perencanaan dan penataan ruang selalu berbasis ilmiah dan fakta-data yang benar. Di Aceh sudah banyak data berkualitas tersedia, hasil kerja beberapa instansi. Maka aneh dan sangat disayangkan, sepertinya pemerintah abaiakan semua data dan bantuan yang tersedia dalam proses perencanaan dan penataan ruang.

“Garis bawah, jika merusak semua aset dan jasa lingkungan untuk memaximalkan revenue dalam jangka pendek, potensi Aceh dalam pengembangan ekonomi jangka panjang sangat terancam,” pungkas Ian.

Ikuti informasi terkait orangutan >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.