Di Tengah Kebakaran Hutan, Buruh Sawit Dipaksa Tetap Bekerja
|
Jakarta, Villagerspost.com – Bencana kebakaran hutan dan lahan kembali melanda Indonesia. Kabut asap nampak memenuhi pulau Kalimantan dan bagian selatan Sumatera. Kini, Indonesia tidak hanya memiliki dua musim. Ada satu musim baru yang muncul sejak pertengahan tahun 1997, yaitu musim asap.
Pemerintah tampaknya sudah berusaha melakukan banyak hal untuk menghindari bencana asap. Namun, bencana terus berulang. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan publik, apakah benar Pemerintah telah serius bekerja? Atau hanya pencitraan semata.
Bersamaan dengan berulangnya musim asap, tegakan sawit semakin menyebar ke pelosok layaknya kanker dalam tubuh manusia. Menggerogoti wilayah kelola rakyat, menghuni lahan-lahan bekas terbakar yang mungkin sengaja dibakar. Ribuan masyarakat terpaksa menghirup udara beracun sisa pembakaran lahan.
Tidak kurang dari 16.000 warga Riau dan 8.000 warga Kalimantan Barat telah terserang ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Sebanyak 48 perusahaan dengan izin konsesi dan 1 lahan milik perorangan telah disegel. Terkait penyegelan tersebut, luasan lahan yang terbakar mencapai 8.931 ha.
Zidane, spesialis perburuhan Sawit Watch bahkan menyampaikan fakta bahwa, buruh perkebunan tetap bekerja seperti biasa. Padahal, mereka adalah orang yang paling dekat dengan asap. “Bagaimana mau memanen buah, membedakan warna buah saja tidak bisa karena paparan asap mengganggu pandangan pemanen,” tegas Zidane, dalam konferensi pers terkait penanganan kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, di Cikini, Jakarta, Kamis (19/9)..
Buruh yang bekerja dalam situasi asap mengaku mata mereka perih, pernafasan terganggu, dan cepat lelah. Tetapi mereka tetap bekerja. “Dalam kondisi kabut asap, tidak ada yang bisa dilakukan untuk melindungi buruh selain mereka dijauhkan dari lokasi yang terpapar asap,” jelas Zidane.
Salah satu hal menarik yang juga ditemukan Sawit Watch adalah adanya beberapa perkebunan sawit yang terbakar, padahal telah tersertifikasi RSPO dan ISPO. Perusahaan tersebut tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Peneliti JPIK Tiara Yasinta menjelaskan, inisiatif penyelamatan hutan dan lahan gambut yang digagas pemerintah masih dilakukan secara parsial, sehingga tidak dapat menyelesaikan persoalan buruknya tata kelola yang terjadi saat ini. Kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan masalah struktural pengelolaan sumber daya alam yang hanya dapat diselesaikan dengan mereformasi skema kebijakan, hukum, dan kelembagaan.
“Kebakaran di sejumlah konsesi merupakan bukti nyata kegagalan pengelolaan yang dilakukan oleh korporasi selaku pemegang izin. Harus diberikan sanksi yang memberikan efek jera supaya pelanggaran yang sama tidak terulang di masa mendatang,” tegas Tiara.
Eko dari Lingkar Borneo mengaitkan bencana asap dengan mandat pemerintah kepada Pertamina terkait Biofuel B20-B50. “Dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan, maka pemerintah dan Pertamina harus berani memastikan bahwa perusahaan yang terindikasi melakukan kejahatan lingkungan dan berdampak sosial, dicoret dari daftar pemasok,” jelasnya.
Pemeritah, kata Eko, juga harus melakukan review serta audit lingkungan secara menyeluruh kepada korporasi sawit, terutama yang menjadi pemasok Pertamina. “Pemerintah juga harus mendesak perusahaan bertanggung jawab pada pemulihan kawasan terbakar dan pemulihan kesehatan masyarakat di sekitar konsesi yang terbakar secara penuh dan berkelanjutan,” tegas Eko.
Eko juga memberikan peringatan kepada para lembaga keuangan harus hati-hati dalam memberikan pinjaman kepada korporasi. “Bank-bank yang memberikan pinjaman harus memastikan pinjaman yang diberikan tidak melanggar kebijakan NDPE dan melanggar HAM. Jangan sampai dana nasabah yang terpapar asap sampai ke perusahaan yang terindikasi dan telah ditetapkan tersangka pembakaran hutan dan lahan,” tegas Eko.
Among dari PADI Indonesia mengingatkan negara untuk menegakkan hukum kepada korporasi pembakar lahan. “Intinya tegakkan hukum. Jangan hanya orang kecil yang ditindas. Perusahaan dan perorangan dibalik pembakaran yang harus ditindak tegas. Jangan menuduh masyarakat hukum adat melakukan pembakaran ladang untuk pertanian. Ketika menyalahkan dan melarang mereka, berarti satu akar budaya lagi hilang dan dihilangkan di negara ini,” jelas Among.
Berangkat dari hal tersebut, koalisi masyarakat sipil berpandangan, asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan ini bukan hal yang biasa tapi kejadian luar biasa dan pemerintah harus bertanggung jawab penuh terhadap persoalan ini. Masyarakat sipil menuntut beberapa hal. Pertama, pemerintah menanggung semua biaya perawatan masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan dan lahan, termasuk biaya pemulihan dan pemeriksaan rutin pasca kebakaran.
Kedua, menindaktegas semua pelaku pembakaran hutan dan lahan dengan mencabut ijin usaha yang sudah diberikan tanpa terkecuali. Ketiga, pemerintah harus segera memperbaiki tata kelola hutan dan lahan dengan review izin, penegakan hukum, dan sanksi tegas bagi korporasi. Keempat, korporasi wajib memastikan keselamatan dan kesehatan buruh di situasi asap.
Kelima, pemerintah membuat resolusi kebijakan jangka panjang, sehingga penanggulangan kebakaran yang ada tidak hanya berkutat pada teknis pencegahan dan pemadaman kebakaran. Keenam, pemerintah harus melibatkan masyarakat lokal/adat dalam seluruh proses pengelolaan hutan dan lahan agar masalah kebakaran terselesaikan secara permanen.
Ketujuh, pemerintah dan Pertamina harus berani memastikan bahwa perusahaan yang terindikasi melakukan kejahatan lingkungan dan berdampak sosial, dicoret dari daftar pemasok biofuel.
Kedelapan, lembaga keuangan (bank) yang memberi dana kepada korporasi pembakar hutan dan lahan harus bertanggung jawab atas dana publik (ternasuk nasabah yang terpapar asap) yang mereka kelola (tersimpan) dan yang mereka salurkan kepada korporasi tersebut.
“Kami juga menuntut pemerintah memohon maaf kepada masyarakat hukum adat atas tuduhan pembakaran lahan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus merilis data lembaga keuangan yang mendanai korporasi terindikasi dan terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan,” pungkas Among.
Editor: M. Agung Riyadi