Di Tengah Pandemi Covid-19 Petani Lahat Jadi Korban Kekerasan Konflik Agraria

Ilustrasi peta sebaran konflik agraria di Indonesia (dok. konsorsium pembaruan agraria)

Jakarta, Villagerspost.com – Duka di wilayah konflik agraria kembali terjadi. Ditengah ancaman krisis pangan akibat wabah Covid-19 yang semakin meluas, petani digusur perusahaan perkebunan sawit. Kabar yang diterima dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatera Selatan dan Komite Reforma Agraria Sumatra Selatan (KRASS), PT Artha Prigel menggusur secara paksa petani di Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Penggusuran tersebut dibantu oleh security perusahaan, preman sewaan dan aparat kepolisian.

PT Artha Prigel merupakan anak perusahaan PT Bukit Barisan Indah Permai Group, dari Sawit Mas Group. Petani yang menolak tanahnya digusur mencoba menghalangi hingga terjadi bentrokan diantara kedua pihak. Akibatnya, dua orang petani, yakni Suryadi (40) dan Putra Bakti (35) tewas di tempat. Sementara dua lainnya, Sumarlin (38) dan Lion Agustin (35) mengalami luka parah akibat bacokan senjata tajam. Hingga kabar diterima masih dalam kondisi kritis di rumah sakit.

“Tindakan penggusuran dan brutalitas yang dilakukan PT Artha Prigel didampingi aparat kepolisian ini menunjukkan wajah buruk penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Kejadian ini juga menambah daftar panjang letusan konflik agraria di Indonesia yang disertai korban dari pihak petani,” kata Benni Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam pernyataan tertulis Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Minggu (22/3) .

KNPA sendiri adalah komite yang terdiri dari beberapa organisasi yang peduli dan melakukan advokasi pada isu-isu keadilan agraria seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I), Yayasan Pusaka, Sajogyo Institute dan Lokataru Foundation. Kemudian, Solidaritas Perempuan, Bina Desa, Rimbawan Muda Indonesia (RMI), serta Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Suasana konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat Desa Pagar Batu (courtessy: komite nasional pembaruan agraria)

Berikutnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sawit Watch, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Indonesian Human Rights Commitee for Social Justice (IHCS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), serta HuMa.

Di tahun 2019 saja, terjadi 279 letusan konflik agraria di Indonesia, 87 diantara terjadi di wilayah perkebunan akibat tindakan penggusuran dan intimidasi yang dilakukan perusahaan perkebunan. Kejadian tersebut diikuti banyak korban dari pihak petani dan masyarakat adat akibat tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan perusahaan dan aparat.

Sebanyak 258 orang diantaranya mengalami kriminalisasi, 211 orang dianiaya, 24 orang tertembak dan 14 orang diantara tewas. “Sangat disayangkan, di tengah ancaman krisis akibat wabah Covid-19 yang terus meluas, korporasi perkebunan dibantu aparat kepolisian justru membuat kekacauan di lapangan,” tegas Benni.

Untung Saputra dari KPA Sumsel menegaskan, seharusnya, perusahaan-perusahaan perkebunan, aparat keamanan maupun pemerintah daerah tidak melakukan langkah-langkah kontraproduktif di wilayah-wilayah konflik agraria dan tanah masyarakat.

“Dalam situasi ancaman pandemi virus dan krisis ekonomi seperti ini, perusahaan-perusahaan besar yang selama ini sudah mendapatkan banyak keistimewaan dari kebijakan pemerintah justru seharusnya turun tangan membantu Negara menghadapi wabah, ancaman krisis pangan dan ekonomi nasional,” ujarnya.

“Bukan melakukan tindakan yang memancing kemarahan petani dan masyarakat kelas bawah,” tambah Untung Saputra.

Jika pemerintah tidak tegas menyikapi situasi ini, maka kebijakan social distancing guna mencegah penyebaran wabah tidak lah akan efektif. “Karena aparat di bawah justru melegitimasi perusahaan membuat kekacauan dan keresahan di bawah,” papar Untung.

Dedek Chaniago dari KRASS menilai, kejadian di Lahat ini menunjukkan ada pengkhianatan di masa prihatin atas corona dengan hawa nafsu bisnis, dengan menghalalkan nyawa. “Kelompok swasta seperti perusahanaan seharusnya meliburkan diri turut serta dalam masa tenang cegah virus, bukan justru membunuh!” tegasnya.

“Polisi seharusnya turut serta dalam kerja negara untuk memaksimalkan pencegahan virus, menyelematkam nyawa bukan justru membunuh rakyat. Pelaku Kebiadaban ini harus dihukum berat!” kata Dedek.

Atas situasi tersebut, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengutuk keras tindakan tak berperikemanusiaan yang dilakukan perusahaan yang telah mengakibatkan hilangnya nyawa petani pada hari ini. KNPA mengajukan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah pusat dan daerah harus tegas melindungi hak petani atas tanah dengan segera menghentikan penggusuran yang dilakukan oleh PT Artha Prigel. Kedua, Menangkap pelaku dan mengusut tuntas tindakan brutalitas yang dilakukan perusahaan yang telah menganiaya dan menewaskan petani.

Ketiga, Memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang sengaja memancing keresahan, menggunakan kekekerasan dan memobilisasi penggusuran, di tengah situasi krisis yang mengancam negara dengan cara mencabut HGU perusahaan,

Keempat, Kapolri segera lakukan tindakan tegas kepada anggotanya karena telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia No: Mak/2/III/2020 Tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid19).

Kelima, Tegakkan Perpres Reforma Agraria dengan melindungi dan menjamin hak-hak rakyat atas tanah pertanian dan wilayah hidupnya, hentikan cara-cara kerasan dan keberpihakan aparat terhadap perusahaan di wilayah-wilayah konflik agraria.

“Kami akan melihat langkah konkrit dan keseriusan pemerintah pusat dan daerah dalam merespons tuntutan di atas. Atau kami bersama serikat-serikat tani akan menyalakan tanda bahaya di wilayah-wilayah konflik agraria, memastikan tak ada lagi perampasan tanah dan kekerasan oleh perusahaan yang dibekingi aparat,” tegas Benni.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.