Diet Plastik Polibag Ala Petani Organik Sumba Timur
|
Sumba Timur, Villagerspost.com – Para petani umumnya menggunakan wadah dari plastik yang biasa disebut polibag atau kokoer untuk persemaian bibit tanaman. Namun, para petani organik di Kelompok Matawai Amah, Desa Yubuway, Kecamamatan Kahaungueti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, mempraktikkan metode berbeda. Mereka mulai melakukan “diet plastik” dengan menggunakan polibag atau dalam bahasa setempat disebut bekong dari daun pisang.
“Ini baru pertama kali bagi kami, ternyata sangat mudah pembuatannya serta bahan pun mudah didapatkan. Selama ini daun pisang dibiarkan begitu saja,” kata Ketua kelompok Matawai Amah Paulus Warandoy, saat ditemui Villagerspost.com, Senin (9/5).
(Baca juga: Air Tenaga Matahari, Pembebas Warga Kambo Umah)
Dengan menggunakan daun pisang selain praktis baik pembuatan maupun mendapatkan bahan bakunya yang sudah tersedia di alam sekitar, petanipun belajar menghargai lingkungan. Kelebihan daun pisang adalah akan membusuk dengan sendirinya berbeda dengan bahan koker dari plastik yang bisa bertahan tak membusuk selama ratusan bahkan ribuan tahun sehingga mencemari tanah.
Dengan menggunakan koker dari daun pisang, para anggota kelompok petani organik Matawai Amah secara tidak langsung juga membantu program pemerintah untuk melakukan “diet plastik”. Penggunaan polibag dari daun pisang ini sebenarnya bukan yang pertama di Desa Yubuway.
Awal mula pembuatan polibag alias koker alias bekong dari daun pisang ini, dikenalkan oleh Rahmat Adinata bersama kelompok petani yang tergabung dalam Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Metode ini pertama kali diperkenalkan pada Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO) Makamenggit, Desa Makamenggit, Kecamatan Nggoa, pada tahun 2012 lalu.
Sejarah awalnya, sistem bekong ini biasa diterapkan di daerah dataran tinggi penghasil hortikultura, seperti di wilayah Pangalengan, Lembang, Jawa Barat. Praktik itu kemudian diadaptasi dan mulai diterapkan di Pulau Sumba yang notabene beriklim kering.
Jenis sayuran yang persemaian bisa dilakukan dengan menggunakan bekong biasanya tanaman hortikultura seperti kol, tomat, cabai, kembang kol, semangka, melon, paria (pare), hingga bawang merah dari biji.
Penggunaan bekong mulanya dilakukan untuk tujuan praktis, yaitu agar kondisi akar tidak terganggu saat melakukan penanaman. Namun belakangan, sifatnya yang ramah lingkungan juga mulai disadari sehingga akhirnya metode ini diduplikasi dan coba disebarkan di Sumba Timur.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyimpan tempat biji semai untuk tanaman sayuran, buah-buahan dan sejenisnya lewat metode persemaian dengan bekong dari daun pisang ini. Diantaranya adalah dengan cara “brownies”, dan “bekong”.
Cara “brownies” adalah, tanah yang telah dicampur pupuk dicetak memakai alat khusus, agar membentuk kubus yang mirip kue brownies. Setelah tercetak, barulah biji tanaman sayur diletakkan di atasnya.
Sementara, cara bekong adalah, pertama, petani harus membuat terlebih dahulu lingkaran–lingkaran daun pisang dengan lebar 3 cm tinggi 3 cm. Kemudian wadah tadi ditindik dengan menggunakan lidi kering yang berfungsi sebagai pengunci daun. Setelah itu, biji semai sayuran atau buah ditutup dengan serbuk gergaji agar terasa ringan saat pertumbuhannya.
Metode-metode tadi juga bermangaat agar persemaian tanaman tidak terganggu akarnya saat dipindah ke lahan dan dalam keadaan aman serta cepat beradaptasi dengan kondisi barunya.
Untuk pembuktian efektivitas metode tersebut, pada Minggu (8/5) kemarin, kelompok Matawai Amah, melakukan penanaman sayuran kol dan paria menggunakan bekong dari daun pisang sebagai tempat biji semainya. Terbukti, dari praktik itu, proses pemindahan bibit ke lahan tidak terlalu sulit.
“Kondisi tanaman setelah dipindah tetap kelihatan segar, sebab akarnya masih utuh,” kata umbu salah seorang anggota Kelompok Matawai Amah Johanis.
Dengan kondisi wilayah Sumba Timur yang kering dengan rentang kemarau yang panjang 8 hingga 9 bulan, praktik penggunaan polibag dari daun pisang ini, tentu sangat baik diterapkan karena lebih ramah lingkungan. Jika selama ini daun pisang hanya menjadi sampah yang tak berharga, dengan adanya praktik ini, maka sesuatu yang tadinya tak berharga menjadi sangat berharga. Itulah esensi dari pertanian yang berkelanjutan yang orientasinya pada pertanian ramah lingkungan.
Ikuti informasi terkait pertanian organik Sumba Timur >> di sini <<
Laporan: Rahmat Adinata, Anggota Gerakan Petani Nusantara, Sumba Timur