Diplomasi Teh Indonesia Ditanggapi Positif Eropa
|Jakarta, Villagerspost.com – Upaya diplomasi teh Indonesia ke Uni Eropa menghasilkan sinyal positif. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, misi yang berlangsung pada 3-9 Desember itu, pemerintah mendapatkan banyak masukan khususnya terkait ambang batas residu anthraquinone (AQ) yang dipersoalkan Uni Eropa. Seperti diketahui, Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146/2014 mempersyaratkan ambang batas (Maximum Residue Level AQ) pada teh sebesar 0,02 mg/kg.
Kebijakan yang diterbitkan pada 23 Oktober 2014 dan berlaku mulai 18 Mei 2015 itu telah menghambat ekspor teh Indonesia ke kawasan tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor pada tahun 2016 tercatat sebesar US$15,9 juta, atau berkurang 20,13% dibandingkan dengan nilai ekspor di tahun 2015 yang sejumlah US$19,9 juta. Tren penurunan juga terjadipada volum dan nilai ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa dengan rata-rata sebesar 20% dalam lima tahun terakhir.
Karena itulah pemerintah mengirimkan misi advokasi bertajuk “Indonesia Tea Trade Mission (ITTM)” ke Eropa. Misi tim advokasi ini adalah untuk pengamanan dan peningkatan akses pasar ekspor teh di Eropa.
Selama kunjungan itu, ITTM melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak yaitu Tea & Herbal Infusion Europe (THIE) dan Eurofins Scientific di Hamburg, Jerman; buyer teh Inggris dan Eropa di London, Inggris; serta Directorate General for Health and Food Safety (DG SANTE) dan Directorate General for Trade (DG TRADE) Komisi Eropa di Brussel, Belgia.
“Pada konsultasi teknis dengan THIE, Delegasi ITTM berhasil memperoleh masukan bahwa kajian yang dilakukan Indonesia terhadap ambang batas residu anthraquinone (AQ) cukup konkret. Namun, ambang batas AQ bisa diubah jika ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa AQ sebagai kontaminan yang tidak terhindarkan,” kata Oke dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (20/12).
Indonesia mengupayakan agar ambang batas residu AQ dalam daun teh kering dapat ditetapkan dengan nilai yang lebih realistis, yaitu sebesar 0,2 mg/kg karena tidak berbahaya bagi konsumen. Nilai ini diperoleh melalui riset yang dilakukan dengan mempertimbangkan analisis risiko. Ambang batas residu yang ditetapkan atas dasar kehati-hatian (precautionary principle) dalam Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146/2014 yaitu sebesar 0,02 mg/kg dinilai Indonesia terlalu ketat.
Selain itu, pertemuan dengan laboratorium Eurofins Scientific juga membuka peluang kerja sama antara laboratorium Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu (Ditstandalitu), Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan dengan laboratorium tersebut. “Peluang ini terbuka karena laboratorium Ditstandalitu telah memiliki kapabilitas yang terakreditasi untuk menguji AQ pada teh serta menggunakan metode pengujian sesuai dengan standar laboratorium di Jerman,” jelas Oke.
Atas peluang ini, proposal kerja sama laboratorium Ditstandalitu dengan laboratorium Eurofins dan sosialisasi profil laboratorium Ditstandalitu beserta publikasi hasil uji AQ kepada konsumen lokal dan internasional perlu segera ditindaklajuti. “Ini dimaksudkan agar pengujian AQ dapat dilakukan di Indonesia sehingga dapat mengurangi beban biaya dan waktu produsen teh Indonesia,” ungkapnya.
Hasil lainnya, kata Oke, para pemangku kepentingan teh Indonesia menerima masukan penting dari buyer Uni Eropa dari hasil networking. “Teh Indonesia diperlukan karena memiliki keunggulan rasa dan jenis teh tertentu seperti black tea dan white tea. Indonesia harus terus memperhatikan pentingnya keamanan pangan (food safety) dan ketelusuran (traceability) dalam perdagangan teh di Inggris dan Eropa. Konsistensi dalam kualitas teh, kecepatan distribusi dan logistik, serta harga yang kompetitif juga harus terus dijaga sekalipun dalam perdagangan teh melalui lelang,” ungkap Oke.
Sedangkan melalui pertemuan dengan DG SANTE diketahui bahwa kebijakan ambang batas AQ berlaku untuk semua negara dan ditetapkan berdasarkan riset ilmiah oleh European Food Safety Authority. AQ adalah residu pestisida yang bersifat karsinogenik sehingga tidak bisa dinegosiasikan. “Namun pihak UE tetap terbuka menerima hasil kajian ilmiah baru yang dapat merasionalisasi bahwa ambang batas AQ terlalu ketat. Terhadap hasil kajian ilmiah Indonesia, pihak UE mengundang Pemerintah Indonesia untuk mengirimkan hasil kajian secara lengkap agar dapat dikolaborasikan dengan peneliti dan laboratorium di UE,” tandasnya.
“Selanjutnya, Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan teh juga perlu menindaklanjuti berbagai saran dan masukan dari para pemangku kepentingan teh di Eropa serta memperbaki sistem pemrosesan teh di perkebunan teh nasional untuk dapat memenuhi persyaratan ambang batas AQ,” tegas Oke. (*)