Ditemukan, Hama Ulat Baru Yang Merusak Tanaman Jagung
|
Jakarta, Villagerspost.com – Pakar hama tanaman Institut Pertanian Bogor Dr. Dewi Sartiami mengungkapkan, saat ini tengah terjadi serangan hama ulat grayak jagung (Spodoptera frugiperda). Hama ulat ini, merupakan hama baru yang pertama kali ditemukan menyerang lahan pertanaman jagung di Pasaman Barat, pada bulan Maret lalu. “Serangan hama ulat ini sangat merugikan petani, dan saat ini diketahui, menyerang puluhan lahan hektare jagung di Aceh, dan Lampung,” ujar Dewi kepada Villagerspost.com, Sabtu (6/7).
Dewi mengatakan, hama ulat grayak jagung ini diketahui berasal dari Amerika Tengah. Ulat ini kemudian diketahui menyebar ke Afrika dan dalam waktu tidak terlalu lama menyebar ke India dan menimbulkan kerusakan lahan jagung yang cukup parah. Setelah itu, dilaporkan serangan ulat ini juga terjadi di Thailand.
Setelah, itu, barulah IPB mendapatkan laporan adanya ulat yang diduga sebagai ulat grayak jagung di Pasaman Barat pada 26 Maret lalu. Serangan ditemukan di dua titik di kabupaten tersebut. “Setelah diverifikasi oleh tim ahli penyakit tanaman IPB, akhirnya diketahui hama yang menyerang itu memang positif Spodoptera frugiperda,” ujar Dewi.
Tak lama kemudian, IPB juga menerima laporan serangan hama tersebut di Aceh, Jambi dan Lampung yang merusak puluhan hektare lahan. Dewi mengatakan, hama ini bisa menyerang tanaman jagung di semua fase pertumbuhan.
Melihat cepatnya persebaran hama ulat grayak jagung ini, Dewi menduga, masuknya hama tersebut sudah cukup lama. “Karena hama kan perlu fase perkembangan, dan kalau melihat serangannya sudah mencapai puluhan hektare, diduga sudah lebih lama hama ini masuk Indonesia,” ujarnya.
Untuk penanganan, sementara ini Dewi menyarankan, petani jagung lebih memperhatikan lahannya, dan ketika ditemukan adanya ulat ini, maka harus dilakukan pembersihan secara mekanis dengan cara mengambil telur ulat ini dengan tangan. “Kalau petani bisa memonitor dan bisa cepat melakukan pembersihan, peluang untuk tanaman selamat dari serangan bisa lebih besar,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Klinik Tanaman IPB Dr. Widodo mengatakan, masuknya hama penyakit baru (emerging pest and deseases) ini, menunjukkan adanya kesenjangan pada sistem karantina di Indonesia. “Sistem karantina kita sebenarnya sudah baik, dan memiliki standard operational procedure (SOP) yang baik dan terlaksana dengan baik,” ujarnya.
“Hanya saja, karena adanya kewenangan, sumberdaya manusia dan dana yang terbatas, geraknya menjadi terbatasi dalam melakukan tindakan pre-emptive untuk mencegah masuknya hama dan penyakit baru (Organisme Pengganggu Tanaman Karantina A1) yang belum ada di Indonesia, serta mencegah meluasnya hama dan penyakit yang masih terbatas keberadaannya di Indonesia (Orgasme Pengganggu Tanaman Karantina A2). ” ujarnya kepada Villagerspost.com.
Sistem yang berlaku selama ini, kata Widodo, ketika ada laporan masuknya hama penyakit, pihak karantina harus melakukan verifikasi terlebih dahulu, termasuk dengan para ahli hama dan penyakit tanaman dari institusi lain. Setelah dinyatakan positif, barulah pihak karantina bisa mengumumkan atau men-declare yang dituangkan ke dalam Peraturan Menteri soal keberadaan hama penyakit baru tersebut.
Jika dinyatakan positif, tindakan eradikasi (pemusnahan) sering menghadapi kendala, terutama jika pertanaman tersebut milik masyarakat umum dan sudah terjadi dalam skala luas di daerah tertentu. “Prosedur verifikasi ini memang harus ditempuh karena sangat menentukan dalam proses pemasukan benih dan produk konsumsi dari luar, jika memang terbukti sebagai pembawa hama atau penyakit barulah masuknya benih tersebut bisa dicegah.” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Departemen Proteksi Tanaman Dr. Suryo Wiyono mengatakan, kejadian ini menegaskan perlunya lembaga karantina diperkuat. “Hal itu sebenarnya sudah dibicarakan dalam pembahasan RUU Karantina beberapa waktu lalu yang menekankan perlunya karantina menjadi badan yang otonom dan tidak lagi di bawah kementerian,” ujarnya.
Badan karantina yang otonom diperlukan agar memiliki kewenangan cukup dan sumber daya yang memadai untuk melakukan tindakan kedaruratan hama penyakit yang baru masuk yang tidak bisa diselesaikan dengan sistem selama ini. Kerap kali dengan lembaga karantina yang sektoral, tersebar di beberapa kementerian, yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab,” tegas Suryo.
Masuknya serangan hama atau penyakit tanaman ke Indonesia ini bukan yang pertama kali terjadi. Suryo menyarankan, pemerintah, mempunyai rencana kegentingan (contingency plan) untuk menghadapi situasi seperti itu. “Dengan demikian, jika hama dan penyakit baru masuk bisa segera ditangani dengan cepat agar terlokalisir dan tidak meluas, juga penting untuk menangkal masuknya serangan hama dan penyakit baru yang sudah muncul di negara-negara tetangga,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi