DPR: Pajak Pertanian Jangan Rugikan Petani
|
Jakarta, Villagerspost.com – Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% untuk barang hasil pertanian mendapatkan perhatian serius dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo mengatakan, jangan sampai kedepannya pajak justru menjadi penghambat merugikan petani. Karena itu, dia meminta agar pemerintah melihat sektor pertanian mana saja yang harus dikenakan pajak.
Andreas mengatakan, hasil bumi seperti palawija dan rempah-rempah tidak perlu dikenakan wajib pajak. “Yang penting bagi kita, harus ada kebijakan dimana saja sektor yang dibebaskan dam dimana saja sektor yang masuk dalam tax expenditure atau belanja perpajakan. Inilah yang harusnya diputuskan dan dibahas bersama DPR. Sektor-sektor mana yang diberikan prioritas, sektor mana yang tidak diberikan,” jelas Andreas saat Rapat Kerja Komisi XI bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7).
Dalam raker tersebut, Komisi XI DPR RI menerima penjelasan Menteri Keuangan atas perubahan PP No. 61 Tahun 2015 akibat putusan Mahkamah Agung No. 70/P/HUM/2013 perihal menetapkan kembali barang hasil pertanian (selain kelapa sawit, buah, dan sayuran) dan hasil perkebunan sebagai Barang Kena Pajak (BKP). “Putusan ini sudah inkrah, tinggal bagaimana pemerintah menindaklanjuti dan parlemen mengawasi sektor pertanian,” ucapnya.
“Selain itu, kalau kita lihat dari tingkat pendapatan petani kita itu rata-rata mereka kan tidak termasuk dalam PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), kalau tidak masuk PTKP tentunya PPN-nya (Pajak Pertambahan Nilai) harusnya dibebaskan, karena menyangkut petani yang pendapatannya rendah. Kalau pedagang hortikultura atau pedagang hasil bumi lain lagi,” jelas Andreas.
Terkait dengan pengawasan, Andreas menilai masih banyak terjadi pseudo-economic atau sektor ekonomi informal yang tidak bisa di-collect pajaknya. Selain itu, terdapat juga kesenjangan (gap) dalam pendapatan pajak saat ini.
“PDB kita kan selalu meningkat. Kenapa PPN kita tidak meningkat selaras dengan peningkatan PDB. Ini yang disebut dengan PPN gap. Bisa karena pembebasan tadi, ini kan kalau untuk sektor pertanian paling dapat berapa, berarti ada sektor-sektor lain yang belum bisa dicollect. Ini yang harus kita lihat,” tambahnya.
Pada prinsipnya, Pemerintah dan DPR RI harus melihat komoditas pertanian mana yang bisa dibebaskan pajaknya. “Komoditas kita yang besar kan diataranya sawit, kalau sawit tentu bisa kita hitung, dan masih layak untuk dikenakan PPN. Kalau pertanian seperti bahan pokok ini yang seharusnya tidak dikenakan. Kalau masih dikenakan, petaninya bisa menunjukkan kalau itu harusnya tidak dikenakan,” pungkasnya.
Sebelumnya, dalam rapat koordinasi tentang pangan, di kantor Kemenko Perekonomian, beberapa waktu lalu, Kepala Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofyanto Kurniawan mengatakan, pihaknya masih mendalami dampak pengenaan PPN barang pertanian. “Kami masih coba mendalami dampak dan sebagainya, impact-nya ke petani seperti apa, kemudian timing yang pas seperti apa, kami coba cari solusi terbaik,” kata Rofyanto.
Menurut Rofyanto, pemerintah ingin memastikan yang terbaik terhadap PPN pertanian, sehingga beban petani bisa menjadi lebih ringan. “Sebenarnya PPN pertanian itu kami inginnya ringankan beban petani,” ucapnya.
Saat ini pihaknya tengah membahas hal-hal penting yang akan dimasukkan dalam aturan. Sebagai sah satu contohnya adalah terkait komoditas pertanian apa saja yang bakal diatur dalam kebijakan tersebut. “Harus ada definisinya mengenai produk pertanian seperti apa, nanti kebijakannya seperti apa, itu masih mau kami rapatkan, perdalam lagi sebelum regulasinya kami terbitkan,” katanyaa.
Sementara terkait adanya kemungkinan PPN komoditas pertanian bakal dihapuskan, Rofyanto menegaskan hal itu pun masih harus dikaji lebih lanjut. Karena harus dilihat terlebih dahulu apa saja dampaknya. “Masih dikaji dampaknya, kira-kira seperti apa,” ucapnya.
Editor: M. Agung Riyadi