Dua Tahun Berjuang, 31 Perempuan Nelayan Demak Dapat Kartu Asuransi Nelayan

Nelayan perempuan di kawasan Pantura bersiap melaut. (dok.kiara.or.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Setelah berjuang selama dua tahun, sejumlah 31 orang nelayan perempuan dari Dukuh Tambakpolo, Demak, Jawa Tengah, akhirnya berhasil mendapatkan kartu asuransi nelayan. Hal ini merupakan buah dari kerja advokasi yang dilakukan oleh Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) bersama Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Sebelumnya, 31 perempuan nelayan ini harus melewati proses panjang mulai dari perubahan identitas profesi dalam KTP yang dulunya ditulis sebagai Ibu Rumah Tangga menjadi Nelayan memakan waktu selama sembilan (9) bulan. Pada saat bersamaan, untuk perubahan identitas profesi pun melewati berbagai perlawanan dari para pemangku kebijakan dari tingkat lokal hingga provinsi.

Sekjen PPNI Masnuah mengatakan, ke-31 Perempuan Nelayan yang PPNI perjuangkan untuk mendapatkan kartu asuransi nelayan ini pernah ditertawakan oleh wakil rakyat di DPRD Jawa Tengah. “Bahkan salah satu wakil rakyat di DPRD Jawa Tengah itu menyebutkan, profesi perempuan nelayan itu nista karena sejatinya perempuan harus di rumah dan dimuliakan. Itu adalah pemikiran yang salah,” kata Masnuah dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (25/3).

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat perempuan nelayan memegang peranan penting dalam rantai produksi perikanan. Perempuan nelayan memiliki andil besar mulai dari pra, produksi hingga pasca produksi dengan jam kerja melebihi 17 jam.

Sekjen KIARA Susan Herawati menuturkan ke-31 perempuan nelayan bukan sekadar istri nelayan, tapi mereka adalah nelayan sejati. “Mereka melaut dan memiliki peran penting baik di dalam ruang domestik maupun ruang publik,” tegas Susan.

Sayangnya, Undang-Undang No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam hanya mengakui kontribusi perempuan dalam rumah tangga nelayan. “Negara keliru melihat bagaimana perempuan nelayan selama ini berjuang sejajar dengan nelayan laki-laki dalam memastikan kebutuhan protein bangsa,” tambahnya.

Ke-31 perempuan nelayan dari Dukuh Tambakpolo, Demak, Jawa Tengah sudah melaut dari 30 tahun lalu. Hasil tangkap mereka dijual hingga Semarang, Jawa Tengah, namun tidak pernah sekali pun perempuan nelayan mendapatkan fasilitas negara.

“Di sisi lain, pada tanggal 24 Maret 2019 ini, PPNI mampu mengakses bantuan bagi 3 kelompok perempuan pengolah terasi, fasilitas dua kelompok olahan laut mendapat ‘cool box’ serta fasilitas pelatihan dan peralatan sarana produksi dari CSR BUMN,” ujar Masnuah.

Capaian yang didapat PPNI adalah potret pentingnya perempuan berorganisasi atau berkelompok. Dengan cara itu kelompok perempuan bisa punya daya tawar dalam keputusan-keputusan publik.

“Asuransi untuk nelayan perempuan itu mustahil kalau mereka tidak lebih dulu berorganisasi dan belajar bersama mengenali hak-hak ekonomi maupun sosial budaya,” kata Susan Herawati.

Susan juga mengatakan, jangankan mendapat asuransi dan akses pada bantuan yang umumnya masih berorientasi gender-lelaki, selama ini bahkan di masyarakat dan di pemerintah pun paradigma nelayan itu selalu laki-laki. Seolah perempuan nelayan itu tidak dianggap.

“Padahal perempuan juga banyak yang melaut. Tidak hanya menunggu hasil tangkapan para nelayan laki-laki,” ujar Susan.

Hal itu juga ditandaskan Susan sebagai spirit adanya PPNI. Dia mengajak perempuan lain tidak hanya di pesisir tapi bisa dalam banyak profesi kerja lain untuk berorganisasi atau berkelompok.

“Berkelompok bagi perempuan di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya adil gender adalah politik dan sangat diperlukan supaya perempuan bisa mengakses hak-haknya sama dan sederajat seperti warga negara lain dari kalangan laki-laki,” tegas Susan.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.