Empat Tahun Nawacita, Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Bahari Meningkat
|
Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, empat tahun pelaksana Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla telah gagal mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat bahari. Sebaliknya, perampasan ruang hidup masyarakat bahari justru meningkat. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati dalam acara peluncuran catatan akhir tahun KIARA, di Jakarta, Senin (14/1).
KIARA menggarisbawahi semakin masifnya proyek pembangunan di kawasan pesisir dalam bentuk reklamasi, pertambangan, kawasan pariwisata, konservasi, serta ekspansi perkebunan sawit di kawasan pesisir telah merampas kehidupan masyarakat bahari yang tersebar dari Sumatera sampai dengan Papua.
“Pembangunan di kawasan pesisir selama empat tahun ke belakang belum menempatkan masyarakat bahari sebagai pelaku utama. “Sebaliknya, pembangunan selama empat tahun ini terus meminggirkan dan merampas kehidupan masyarakat bahari di lebih dari 12 ribu desa pesisir,” ujar Susan.
Susan menuturkan, pada tahun 2018, proyek reklamasi di kawasan pesisir meningkat dari 37 menjadi 41 titik; proyek pertambangan meningkat dari 21 menjadi 25 lokasi dengan total 1895 konsesi. Kawasan pariwisata berbasis utang terus bertambah dan memakan korban dalam bentuk pembunuhan dan kriminlisasi.
Proyek konservasi laut berbasis utang sudah mencapai 20.871.894,62 juta hektare pada tahun 2018 dan akan ditambah lagi dengan kawasan konservasi seluas 11,63 juta hektare. Kemudian, ekspansi perkebunan sawit di kawasan pesisir dengan total luas 675.791 hektare (lihat tabel).
Data sebaran proyek dan investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
Karena berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat bahari yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya kelautan dan perikanan, lima proyek tersebut di atas menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sumber daya perikanan di Indonesia. Dalam konteks inilah, fakta kemiskinan di kawasan pesisir tak terelakan.
Berdasarkan data tersebut, KIARA mendesak pemerintah untuk tetap menempatkan masyarakat bahari sebagai aktor utama sektor perikanan di negeri ini. “Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya, wajib melindungi dan memperdayakan masyarakat bahari sebagaimana yang dimandatkan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam,” tegas Susan Herawati.
Susan menambahkan, perlindungan terhadap masyarakat bahari juga meniscayakan perlindungan terhadap ruang hidup laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang merupakan lokus kekayaan sumber daya perikanan dan kelautan sekaligus kawasan perairan tangkap mereka. “Pemerintah harus melindungi ruang hidup masyarakat bahari dan mengevaluasi seluruh proyek yang merampas kehidupan masyarakat bahari Indonesia. Ini adalah mandat utama Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010,” ujarnya.
KIARA mencatat, masyarakat bahari, merupakan produsen utama perikanan Indonesia. Dengan demikian, jika masyarakat bahari tidak menjadi aktor utama, maka takkan ada kedaulatan dan keberlanjutan produksi perikanan di Indonesia.
“Di dalam sektor perikanan, seharusnya perencanaan pembangunannya berasal dari masyarakat bahari, pengelolaannya oleh masyarakat bahari, serta tujuannya untuk sebesar-besar kemakmuran, kedaulatan dan kemandirian masyarakat bahari Indonesia. Itu prinsip penting keadilan perikanan yang harus ditegakkan oleh negara dan dalam pada itu negara mampu hadir untuk memastikan masyarakat bahari berdaulat, mandiri dan sejahtera,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi