Gabung Trans Pacific Partnership Jokowi Khianati Konstitusi
|
Jakarta, Villagerspost.com – Dalam pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, Senin (26/10) kemarin, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia bakal bergabung dengan forum kerjasama antar negara pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP) yang dipimpin AS. Jokowi beralasan, keikutsertaan Indonesia dalam TPP akan menguntungkan karena akan memperluas pasar ekspor Indonesia.
Negara tetangga seperti Vietnam sudah lebih dulu memanfaatkan kesempatan bergabung dalam 12 negara anggota TPP. Ini menjadi tantangan bagi RI untuk turut meningkatkan daya saing dengan bergabung dalam TPP.
Hanya saja, menurut Indonesia for Global Justice (IGJ), langkah Jokowi bergabung dengan TPP justru merupakan sebuah kesalahan fatal. Hal ini karena ketentuan TPP bertentangan dengan konstitusi, khususnya terkait dengan kedaulatan negara atas penguasaan dan pengelolaan perekonomian nasional yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar RI.
Manajer Riset dan Monitoring IGJ Rachmi Hertanti menjelaskan, TPP memiliki 29 bab ketentuan liberalisasi perekonomian yang didalamnya disusun sesuai dengan standar dan kepentingan AS. Bahkan cakupan aturannya sangat luas dan komprehensif, sehingga TPP berpotensi menjadi ancaman hilangnya kedaulatan negara atas pengelolaan perekonomian nasional dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat.
“TPP telah menghilangkan kontrol negara atas sektor publik yang strategis bagi masyarakat dengan meminta untuk menghapus daftar negatif investasi di sektor ini. Bahkan, TPP hendak memasung peran BUMN dalam mengelola sumber kekayaan nasional. Dukungan pemerintah yang besar terhadap BUMN dianggap telah menciptakan kompetisi yang tidak adil, sehingga TPP melarang segala bentuk dukungan untuk BUMN,” kata Rachmi dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Rabu (28/10).
Lebih lanjut Rachmi menerangkan, TPP akan membuka akses perusahaan asing kepada kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai triliunan dolar AS dari serapan APBN. “Ini bisnis yang menggiurkan bagi korporasi AS. Sehingga TPP menerapkan aturan non-diskriminasi dan national treatment bagi perusahaan asing dalam kegiatan ini,” tegasnya.
Pada 5 Oktober 2015, TPP yang dikomandoi AS telah mencapai kesepakatannya dan artinya Indonesia akan berunding setelah beberapa standar penting selesai dinegosiasikan. Seperti Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) yang berpotensi menghilangkan akses masyarakat terhadap obat-obatan murah serta hilangnya kedaulatan pangan akibat kriminalisasi petani kecil akibat aktivitas budidaya tanaman.
“Posisi Indonesia yang akan bergabung ke dalam TPP setelah TPP disepakati oleh 12 negara menyebabkan Indonesia tidak memiliki banyak ruang untuk bernegosiasi dan memiliki posisi tawar yang rendah. Sehingga tidak ada pilihan lain selain mengikuti standar yang telah ditetapkan sebelumnya,” tambah Rachmi.
Oleh karena itu, IGJ mengingatkan Jokowi untuk tidak gegabah memutuskan keterlibatan Indonesia di dalam TPP. Pilihan terhadap TPP juga bukan strategi yang tepat bagi pemulihan perekonomian nasional. “TPP bukan jawaban bagi Indonesia,” ujarnya.
TPP diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS) dalam rangka untuk mendongkrak perekonomiannya melalui penghapusan berbagai bentuk hambatan perdagangan dan investasi AS di negara mitra TPP. Pembentukan TPP oleh AS juga dilatarbelakangi untuk menyaingi dan menghambat dominasi China di Asia Pasifik.
China dinilai telah banyak diuntungkan dengan mengikatkan banyak perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN dan 6 negara Asia Pasifik lainnya seperti India, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan New Zealand. (*)