GAIA: Sampah Plastik Dari Negara Besar Banjiri Asia Tenggara
|
Jakarta, Villagerspost.com – Penelitian yang dilakukan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) mengungkapkan adanya arus sampah plastik dari negara-negara besar yang membanjiri Asia Tenggara. Hal itu terungkap dalam laporan yang dibuat berdasarkan analisis data tentang perdagangan sampah global yang dilakukan oleh Greenpeace Asia Timur. Laporan itu menyebutkan, kontaminasi air, kematian tanaman, penyakit, dan pembakaran terbuka sampah plastik semuanya membanjiri Asia Tenggara bersama dengan plastik “daur ulang” dunia.
“Sampah plastik dari negara-negara industri benar-benar membanjiri masyarakat di Asia Tenggara, mengubah tempat-tempat yang dulunya bersih dan berkembang, menjadi tempat pembuangan sampah beracun. Ini sangat tidak adil bahwa negara-negara dan masyarakat dengan kapasitas dan sumber daya yang jauh lebih kecil dalam menangani polusi plastik dijadikan sasaran pelarian untuk plastik sekali pakai yang dihasilkan oleh negara-negara industri,” kata Von Hernandez, koordinator global gerakan Break Free from Plastic, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (23/4).
Untuk mengukur perubahan pada aliran sampah plastik ‘daur ulang’ sebelum dan sesudah larangan impor sampah asing yang dilakukan Cina pada tahun 2018, Greenpeace Asia Timur menyusun data ekspor-impor dari 21 eksportir terbesar–dengan Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang berada di urutan teratas– dan 21 importir terbesar sampah plastik.
Sementara itu, investigasi lapangan oleh GAIA di Indonesia, Malaysia, dan Thailand merinci operasi daur ulang ilegal dan sindikat kejahatan, pembakaran terbuka, pencemaran air, kematian tanaman, dan meningkatnya penyakit yang terkait dengan pencemaran lingkungan, yang telah menyebabkan protes warga. Beberapa pemerintah pun terburu-buru memberlakukan pembatasan untuk melindungi perbatasan mereka, mengikuti jejak Tiongkok dengan larangan impor sampahnya.
Data menunjukkan, krisis plastik Asia Tenggara saat ini adalah puncak dari permasalahan global, dengan limbah yang menumpuk di seluruh dunia dan di dalam negeri pada semua negara yang terlibat, bahkan pada mantan negara eksportir. Secara keseluruhan, ekspor sampah plastik turun hampir 50%, dari 12,5 juta ton pada 2016 menjadi 5,8 juta ton pada 2018. Karena produksi plastik diproyeksikan meningkat, penurunan ekspor ini bisa diartikan bahwa plastik yang ‘dapat didaur ulang’ akan terus menumpuk atau mengarah ke pembuangan yang tidak benar di negara asal.
Ekspor sampah ini bahkan tidak menjamin pembuangan yang tepat. Saat ini, ekspor masuk ke negara-negara yang tidak punya peraturan yang memadai untuk melindungi dirinya sendiri. Sumengko Utara, Indonesia, misalnya, hampir seketika berubah menjadi tempat pembuangan sampah internasional. Investigasi lapangan GAIA menemukan tumpukan sampah setinggi dua meter, tempat pembuangan sementara, dan pembakaran terbuka di wilayah pertanian.
Proses ini akan berlanjut sampai tindakan tegas diambil. Setelah larangan impor Cina, sampah membanjiri Malaysia, Vietnam, dan Thailand, yang dengan cepat menetapkan pembatasan impor. Kemudian, ekspor meluap ke Indonesia, India, dan Turki.
“Setelah satu negara mengatur impor sampah plastik, maka sampah akan membanjiri negara tujuan berikutnya yang belum mempunyai regulasi. Ketika negara tersebut melakukan pembatasan, ekspor pun bergerak ke negara tujuan berikutnya. Ini adalah sistem predator, tetapi juga semakin tidak efisien. Setiap pengulangan baru menunjukkan semakin banyak sampah plastik keluar dari sistem pengelolaannya – di mana kita tidak dapat melihat lagi apa yang diperlakukan terhadapnya, dan itu tidak dapat diterima,” kata Kate Lin, jurukampanye senior Greenpeace Asia Timur.
Konvensi Basel akan berlangsung pada 29 April hingga 10 Mei di Swiss untuk mempertimbangkan proposal dari Norwegia untuk transparansi dan akuntabilitas yang lebih kuat dalam perdagangan global sampah plastik. Proposal itu mengatakan bahwa eksportir sampah plastik harus mendapat izin lebih dahulu dari negara-negara tujuan, sebuah sistem yang dikenal sebagai “persetujuan berdasarkan informasi” yang sudah ada untuk jenis limbah berbahaya lainnya.
“Ketika negara-negara kaya membuang sampah plastik level rendah mereka ke negara demi negara di dunia belahan selatan, yang paling minimal dapat dilakukan oleh masyarakat internasional adalah melindungi hak suatu negara untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikirim ke wilayah mereka. Namun, pada akhirnya, negara-negara pengekspor perlu mengatasi masalah polusi plastik mereka di rumah sendiri, daripada memberikan beban ke negara-negara lain,” kata Beau Baconguis, Koordinator Plastik Regional GAIA Asia Pasifik.
Krisis plastik ini juga memiliki sumber masalah yang jelas: perusahaan-perusahaan multinasional yang memproduksi kemasan plastik secara massal untuk meningkatkan keuntungan.
“Sistem daur ulang tidak pernah bisa mengimbangi produksi plastik, karena hanya 9% dari total plastik yang pernah diproduksi dapat didaur ulang. Satu-satunya solusi untuk polusi plastik adalah memproduksi lebih sedikit plastik. Para pengguna plastik terbesar – terutama perusahaan-perusahaan barang konsumsi seperti NestlĂ© dan Unilever, dan juga jaringan supermarket – perlu mengurangi kemasan plastik sekali pakai dan bergerak menuju sistem isi ulang dan penggunaan kembali untuk mengeluarkan kita dari krisis ini,” sebut Lin.
Editor: M. Agung Riyadi