Gelar Sidang Adat, Masyarakat Adat Malamoi Tolak Kehadiran Perusahaan Sawit
Sorong, Villagerspost.com – Masyarakat adat Malamoi, di Kota Sorong, Papua Barat, menggelar sidang adat pada Kamis (14/10) lalu. Sidang adat digelar untuk menyikapi kehadiran tiga perusahaan sawit di lahan adat milik mereka.
Sekitar 70 orang perwakilan masyarakat adat Moi, orang-orang tua dan pemilik tanah dan hutan adat, asal dari daerah Distrik Seget, Distrik Bagun, Distrik Klamono, Distrik Segun, Distrik Konhir, Distrik Klayili dan Distrik Sayosa, mengikuti acara sidang adat yang diadakan LMA Malamoi. Sidang Adat dipimpin oleh lima orang Nedinbulu (Hakim Adat).
Dari sidang adat tersebut, diputuskan, masyarakat menolak kehadiran ketiga perusahaan sawit yaitu PT Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Sorong Agro Sawitindo, yang berupaya menggarap lahan adat mereka. Wakil ketua Dewan Adat Konhir Pieter Konso mengatakan, keputusan yang dihasilkan dari sidang ini, adalah keputusan tertinggi dan mengikat bagi semua pihak.
Dia menegaskan, pengadilan PTUN Jayapura haruslah mempertimbangkan keputusan dan hukum adat yang telah diputuskan sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat. “Kami tidak mau ada kelapa sawit dan kami mendukung bupati Sorong. Kami juga mendesak sumpah adat untuk buat bambu tui (bambu pamali) supaya tidak ada yang berani kasih tanah untuk perusahaan kelapa sawit,” kata Pieter, dalam keterangan tertulis yang diterima Villagerspost.com.
Sidang dibuka dengan mendengar kata sambutan dari LMA Malamoi Bapak Silas Kalami dan ritual adat. “Sidang adat ini adalah forum resmi bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menyampaikan keluhan dan aspirasi mereka. Sidang adat akan memutuskan dan menyelesaikan perkara tuntutan permasalahan masyarakat adat secara adil,” ungkap Silas Kalami.
Namun sayang, dalam sidang adat ini, pihak perusahaan yang juga turut diundang, tidak hadir tanpa informasi. Hal ini dinilai melecehkan hak masyarakat adat.
“Sidang adat diakui oleh negara melalui Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan menyepakati sidang adat tetap dilaksanakan,” kata Anggota MRP Papua Barat Matias Komegi, yang juga menjabat Ketua Pansus MRPB untuk permasalahan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dan aktif mendorong peradilan adat untuk menyelesaikan permasalahan hak-hak masyarakat adat.
Usai sidang adat, masyarakat juga menyerahkan Surat Keputusan Bupati Sorong Dr. Johny Kamuru, SH., M.Si, dengan nomor 593.2/KEP.345/IX/TAHUN 2021, tentang Pengakuan Hak Gelek Malak Kalawilis Pasa, salah satu marga Suku Moi yang berada di Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Keputusan ini berisi pengakuan Hak Gelek Kalawilis Pasa atas tanah dan hutan adat seluas 3.247 hektare.
Silas Kalami, memberikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah yang memberikan keputusan pengakuan hak bagi masyarakat hukum adat Moi Gelek Malak Klawilis Pasa. Keputusan ini telah ditunggu masyarakat sejak terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Sorong.
“Keputusan Bupati ini yang pertama di Kabupaten Sorong. Melalui pengakuan hak masyarakat akan lebih kuat untuk menjaga hutan dan tanah adat,” ujarnya.
Silas menegaskan, masyarakat harus menjaga hutan dan tanah adat guna keberlanjutan kehidupan. “Bila ada pembangunan yang masuk harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat adat, jangan sampai mengorbankan masyarakat adat. Bila hutan dan tanah sudah tidak ada maka tidak dapat disebut lagi sebagai masyarakat adat,” ungkap Silas.
“Kami Gelek Malak membuktikan kami bisa menjaga tanah dan hutan adat, kami memberikan contoh kepada marga-marga lain untuk bersama-sama menjaga hutan dan tanah adat. Kami senang telah menerima SK Pengakuan, apakah masyarakat lainnya ingin ikut seperti saya, saya mengajak marga lain mendukung bapak bupati menolak perkebunan kelapa sawit,” ungkap Herman Malak, Ketua Marga Gelek Malak Kalawilis Pasa.
Bupati Sorong Johny Kamuru menyampaikan keputusan ini merupakan bentuk komitmennya untuk melindungi hak masyarakat adat. Jika hutan dan tanah dikelola baik oleh masyarakat akan memberikan kehidupan bagi seluruh masyarakat yang hidup, namun masih ada satu atau dua orang yang ingin menguasai seluruh sumber daya alam.
“Sebagai Bupati saya memiliki momentum untuk melakukan evaluasi dan mencabut izin-izin perkebunan kelapa sawit,” tegasnya.
Johny menegaskan, pemberian pengakuan hak kepada marga Gelek Malak dilakukan agar masyarakat menjaga dengan mengelola ekonomi dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. “Jangan sia-siakan kesempatan pemberian hak adat kepada masyarakat adat. SK Pengakuan ini akan diserahkan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk ditindaklanjuti,” ujar Johny Kamuru, yang disaksikan dan disambut meriah dengan tepuk tangan ratusan peserta sidang adat.
Pada saat yang sama, Ketua LMA juga menyerahkan hasil sidang adat Masyarakat Hukum Adat Moi Pemilik Hak Ulayat Terhadap Kehadiran tiga Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Sorong Agro Sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, PT Inti Kebun Lestari kepada Bupati Sorong yang memutuskan mendukung Keputusan Bupati yaitu mencabut izin perkebunan kelapa sawit dan menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit di daerah wilayah adat Moi. Bupati mengatakan akan meneruskan keputusan sidang adat kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai bukti dipersidangan.
Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, pihaknya menyambut baik kebijakan keputusan Bupati Sorong. “Kami mengapresiasi yang tinggi atas kebijakan Bupati Sorong yang mengakui hak masyarakat adat Moi, Gelek Malak Kalawilis Pasa, kebijakan dan komitmen bupati ini sudah sejalan dengan keinginan aspirasi masyarakat adat Moi. Keputusan ini sangat menentukan bagi perjuangan masyarakat adat Moi mengamankan tanah dan hutan adat,” ujarnya.
Nico Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, pengakuan hak masyarakat adat ini merupakan sebuah model solusi yang bisa diaplikasikan di seluruh wilayah adat Indonesia. Dengan adanya hasil sidang adat dan keputusan bupati tersebut kami berharap institusi terkait dapat menghormatinya, kemudian menjalankannya.
“Pengakuan hak masyarakat adat untuk mengelola tanah dan hutan adat mereka merupakan salah satu upaya untuk menjaga hutan alam yang tersisa,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi
Related Posts
-
Petani Muda Indramayu Imbau Petani Tidak Tanam 3 Kali Tahun Ini
1 Comment | Jul 20, 2017
-
Duduki Platform Shell, Aktivis Greenpeace Membawa Pesan: “Hentikan Pengeboran, Mulailah Membayar”
No Comments | Feb 2, 2023
-
Konflik Agraria Menahun, Masyarakat Sei Paham Tegaskan Perlawanan Kepada PT Inti Palm Sumatera
No Comments | Jan 10, 2019
-
Libur Natal dan Tahun Baru, Harga Bahan Pokok di Wonosobo Terkendali
No Comments | Dec 28, 2018