Greenpeace Desak Perlindungan Tuna yang Lebih Kuat di WCPFC

Gerombolan ikan tuna di lautan. AP2HI akan wajibkan sistem pelacakan asal usul ikan untuk masa depan industri perikanan tuna (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Pertemuan tahunan Komisi Perikanan Pasifik Barat-Tengah (Western and Central Pacific Fisheries Commission-WCPFC) ke-14, tengah digelar di Manila, hari ini, Jumat (1/12). Dalam acara tersebut, Greenpeace mendesak lembaga pengelolaan regional tersebut harus menyepakati aturan konservasi dan pengelolaan yang bisa memastikan pulihnya populasi ikan tuna yang selama ini dieksploitasi. Aturan Tuna Tropis (Tropical Tuna Measure-TTM) yang berlaku saat ini akan segera berakhir dan akan direnegosiasikan di ajang WCPFC ini.

Greenpeace menyatakan hal-hal yang harus disepakati, antara lain: kapal-kapal jaring (purseiner) harus menyepakati pengurangan besar-besaran jumlah rumpon (Fish Aggregating Devices-FADs), serta aturan ketat untuk pelaporan dan transparansi penggunaan rumpon. Kemudian, pengawasan dan kontrol yang lebih ketat terhadap kapal longliner, serta penerapan target stok, titik batas eksploitasi dan pengelolaan strategis.

“Meski komitmen saat ini sudah tepat arahnya dan beberapa pelaku industri sudah mengambil inisiatif dalam mengatasi penangkapan berlebih, penangkapan ikan ilegal dan perbudakan di laut, WCPFC tetap bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perubahan positif bagi laut bisa terjadi dengan menyepakati aturan-aturan yang lebih kuat,” tegas Arifsyah Nasution, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia yang hadir di pertemuan ini, Jumat (1/12).

“Ini bisa terwujud dengan menyepakati aturan-aturan penting mengenai pengumpulan data, manajemen kapasitas penangkapan ikan termasuk rumpon, stok ikan, metode MCS (Monitoring, Control and Surveillance) termasuk transhipment (alih muat di tengah laut), serta pengendalian panen (eksploitasi),” tambahnya.

Berbagai laporan Greenpeace telah mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia terjadi di bidang yang dikelola oleh WCPFC ini. Meski tidak secara spesifik berbicara tentang hak asasi manusia, pelarangan transhipment dan pengawasan yang kuat akan bermanfaat dalam mengatasi masalah ini.

Sebanyak 4.509 kapal teregistrasi dalam WCPFC di mana 64% nya adalah longliner, 12% adalah kapal jaring dan hanya 2,22% adalah kapal huhate (pole and line). Enam negara terbesar mencakup 85% kapal adalah Taiwan (China Taipei), Jepang, China, Filipina, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.

“Dalam pertemuan di Manila ini semua pihak harus membuktikan kesungguhan dalam menyelamatkan stok ikan tuna dan jangan lagi terjadi aliansi industri – pemerintah yang berusaha untuk menggagalkan aturan perlindungan tuna yang kuat,” pungkas Arifsyah. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.