Greenpeace Dukung Perpanjangan Moratorium Pemberian Izin Kapal Ikan eks Asing

Kegiatan transshipment ikan tuna di Samudera Hindia (Dok. Greenpeace)
Kegiatan transshipment ikan tuna di Samudera Hindia (Dok. Greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Pemerintah telah memberlakukan perpanjangan moratorium izin kapal ikan eks asing hingga 31 Oktober mendatang. Moratorium izin tersebut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan Nomor 10/Permen-KP/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Greenpeace Indonesia pun menyatakan dukungannya atas perpanjangan moratorium izin terhadap kapal ikan eks asing yang ditetapkan hingga 6 bulan mendatang itu. Langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut dinilai tepat asalkan pemerintah melakukan perbaikan tata kelola perikanan secara mendasar selama rentang waktu pelaksanaan moratorium.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah M Nasution mengatakan, perbaikan mendasar yang dimaksud mencakup tiga hal, yaitu penguatan landasan hukum tata kelola perikanan,  pemantapan kualitas data sumber daya ikan dan biofisik kelautan, serta fasilitasi komunikasi, kesadaran dan kesepahaman bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

“Tahun ini merupakan momentum penting untuk meletakkan dasar perbaikan yang kokoh bagi tata kelola perikanan Indonesia agar dapat menjadi fondasi dalam mengembangkan industri perikanan yang berkelanjutan serta kompetitif dalam lima hingga 10 tahun mendatang,” kata Arifsyah, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Minggu (3/5).

Menurutnya Pemerintah perlu merancang kembali perangkat dan sistem kebijakan yang menegaskan kedaulatan, kemandirian, dan keteladanan Indonesia dalam mengelola sumber daya perikanan, termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil. Kerja prioritas ini juga termasuk melahirkan rancangan perubahan atau bahkan undang-undang (UU) baru untuk menggantikan UU Perikanan No 31 tahun 2004 juncto No 45 tahun 2009 tentang Perikanan.

Sementara itu terkait sumber daya ikan, Arifsyah menilai, pemerintah perlu membangun Kerangka Kerja Pendugaan Stok Ikan Nasional (National Fishes Stocks Assessment Framework) yang partisipatif dan terbuka, serta mempertimbangkan kondisi aktual perikanan Indonesia. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan adalah wilayah perairan kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang luas, kekayaan ekosistem, dan banyaknya jenis ikan, serta ragam ukuran dan jenis armada tangkap di Indonesia.

“Pendugaan stok ikan yang baik membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena bergantung pada ketersediaan dan mutu data yang disiplin, oleh karena itu pemerintah perlu mendahulukan dan mengundang berbagai pakar perikanan dari seluruh Indonesia agar dapat segera melahirkan konsensus dan protokol bersama mengenai tata cara pendugaan stok ikan yang dapat diakses oleh publik,” ujar Arifsyah.

Selain itu, lanjutnya, hal lain yang tak kalah penting dalam fasilitasi komunikasi adalah menyamakan langkah pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk secara bertahap beralih dari penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang menjadi alat tangkap yang ramah lingkungan. Dalam hal ini koordinasi lintas Kementerian juga menjadi penting.

“Sejauh ini langkah pembenahan oleh KKP berjalan ke arah yang benar. Perubahan sedang terjadi, dan dibutuhkan kerja multipihak dan kegigihan bersama untuk menjadikan laut sebagai masa depan Indonesia,” pungkas Arifsyah. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.