Greenpeace: Hentikan Alih Muatan di Tengah Laut, Demi Reformasi Perikanan Asia Tenggara
|
Jakarta, Villagerspost.com – Upaya pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan praktik illegal perikanan, salah satunya alih muatan ikan di tengah laut atau transshipment mulai menuai dukungan. Greenpeace Indonesia menyatakan mendukung kebijakan kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti itu dalam melarang alih muatan ikan di tengah laut. Lewat kebijakan itu, selain dapat mengurangi pencurian ikan, kebijakan ini juga dinilai dapat menghindari berlanjutnya fenomena perbudakan di laut oleh kapal ikan skala besar.
Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan kebijakan pelarangan alih muatan ikan di tengah laut (no transshipment at seas) merupakan langkah tegas menghentikan praktik kotor perikanan. Hal ini juga dinilai dapat memperbaiki sistem nasional menuju perikanan berkelanjutan.
“Penghentian alih muatan ikan di tengah laut adalah langkah tegas menutup celah hukum yang selama ini memuluskan praktik pencurian dan penggelapan hasil tangkapan ikan. Selain juga menghindari berlanjutnya bentuk-bentuk perbudakan di laut oleh kapal ikan skala industri, serta mengoptimalkan fungsi-fungsi pokok pelabuhan perikanan, termasuk dalam akurasi pendataan dan ketelusuran ikan yang dapat bermuara pada perikanan berkelanjutan,” kata Arifsyah kepada Villagerspost.com, Selasa (20/1).
Dia juga menilai kebijakan ini membantu petugas pengawas perikanan dalam mengambil tindakan tegas saat mendapati praktik alih muatan, sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih efektif. Lebih lanjut sikap ini ditengarai dapat membangun keteladanan perikanan di Kawasan Asia Tenggara.
Arifsyah menegaskan kebijakan ini tak akan mengancam keberlangsungan industri perikanan nasional sebagaimana dikhawatirkan sejumlah pengusaha. Kebijakan ini justru akan membenahi tata kelola perikanan dalam melawan praktek perikanan ilegal yang tak dilaporkan dan tak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing/ IUU fishing). Selain juga mengatasi kegiatan perikanan yang merusak (destructive fishing).
“Kita harus paham bahwa kebijakan penghentian alih muatan di tengah laut justru akan mempersempit kesempatan praktik curang antara kapal ikan nasional dengan kapal negara tetangga dalam melakukan pencurian ikan. Dengan demikian reformasi tata kelola perikanan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara,” jelasnya.
Lebih lanjut dia menilai Kabinet Kerja telah membangun landasan kebijakan yang tepat melalui no transshipment at seas. “Namun, langkah dalam 100 hari pertama ini membutuhkan dukungan penuh dari pemangku kepentingan, terutama kalangan industri perikanan dalam negeri,” tutup Arifsyah.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, kebijakan pelarangan alih muatan di tengah laut ini telah menimbulkan perubahan drastis. Saat ini, kata Susi, praktik pencurian ikan termasuk lewat modus transshipment boleh dikatakan menurun. Larangan alih muatan itu sendiri sudah ditetapkan lewat Peraturan Menteri Nomor 57 tahun 2014 mengenai Pelarangan Alih Muatan di Tengah Laut dan Dibawa ke Luar Negeri.
Beleid itu merupakan revisi atasĀ PermenKP Nomor Nomor 30 tahun 2012 yang justru memperbolehkan dilakukannya kegiatan yang terhitung merugikan negara tersebut. Susi mengatakan pelarangan itu berlaku umum di semua negara. Dia bilang, tidak ada satu negara pun yang membolehkan atau mengizinkan praktik transshipment. “Lalu apa artinya kita punya Bea Cukai, punya pelabuhan, kalau bisa transshipment di tengah laut?” kata Susi beberapa waktu lalu.
Susi menegaskan, kegiatan alih muatan kapal di tengah laut ini sangat merugikan negara karena ikan hasil tangkap harusnya didaratkan di pelabuhan asal dan dicatat oleh negara. “Tetapi selama ini praktiknya justru langsung diekspor secara ilegal,” katanya.
Dia mengakui, tentu ada pihak yang tidak puas dengan adanya kebijakan tersebut. Tetapi Susi mengaku tak merisaukannya. “Ada beberapa pihak yang tidak puas. Tapi ada juga pemilik kapal yang senang karena mendapatkan kepastian pasokan ikan,” jelasnya.
Kebijakan ini memang mendapat reaksi negatif dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Kadin meminta agar penerapan aturan transshipment tidak dipukul rata. “Kadin minta penerapan kebijakan transshipment benar-benar melihat realitas di lapangan. Jadi, tidak dipukul rata,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto lewat siaran persnya beberapa waktu lalu.
Menurut Yugi, kebijakan larangan alih muatan penting untuk tidak dipukul rata karena Kadin mencatat bahwa tidak semua pelaku alih muatan tersebut belum tentu semuanya bermain nakal. Jika kebijakan transshipment harus tetap dijalankan secara merata pada seluruh nelayan dari semua golongan, menurut dia, penangkapan ikan tuna bisa mengalami pembusukan.
Masalahnya, ujar dia, ukuran kapal nelayan dari tingkatan yang kecil tentu tidak memiliki kecanggihan kapal-kapal yang lebih besar, khususnya dengan kapal-kapal yang memiliki teknologi cold storage (ruang pendingin) yang memadai. “Jadi, mereka itu hanya punya penyimpanan ikan tuna bermodalkan es batu saja. Dengan demikian, kalau balik lagi ke daratan, tidak efisien,” katanya. (*)