Greenpeace Kecam Imbauan Subsidi Industri Batubara

Aksi aktivis Greenpeace menentang penggunaan energi batubara yang dinilai sebagai energi kotor (dok. greenpeace)
Aksi aktivis Greenpeace menentang penggunaan energi batubara yang dinilai sebagai energi kotor (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Industri batubara sedang berada pada titik terendah akibat menurunnya permintaan internasional. Menurut Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia-Indonesian Coal Mining Association (APBI) dan PricewaterhouseCoopers (PwC), kondisi ini pun turut menjegal rencana Indonesia untuk meningkatkan jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara.

Hasil kajian mereka mengindikasikan bahwa cadangan batubara Indonesia akan habis pada tahun 2033. Namun, untuk Indonesia ada ancaman lain yang lebih mendesak. Akibat kondisi ini, pihak APBI-ICMA mengimbau pemerintah untuk memberikan subsidi dari dana publik, termasuk penggunaan dana pensiun, asuransi dan lembaga pemerintah lainnya untuk kelangsungan industri batubara.

(Baca Juga: Greenpeace Dukung OJK Hentikan Pendanaan Batubara)

Kondisi ini menjadi ironis mengingat industri pertambangan batubara menghasilkan keuntungan besar selama bertahun-tahun, dengan keuntungan kotor sebesar US$6,5 miliar pada tahun 2011. APBI-ICMA meminta agar pemerintah membayar semacam ‘biaya asuransi’ sebesar 1% dari tarif dasar listrik yang sebesar kurang lebih Rp1.400/kWh yang berarti nilai subsidi sebesar Rp3 triliun per tahun (US$230 juta).

Pekampanye senior Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto mengatakan, subsidi lebih tinggi sebesar 3% ini akan membebankan pembayar pajak Indonesia sebesar Rp8,9 triliun per tahun (US$680 juta). “Perusahaan batubara Indonesia tidak boleh dibiarkan menjalankan rencana tidak masuk akal ini. Tidak cukup dengan merusak bentang alam dan pada banyak kasus meninggalkan tanggung jawab reklamasi, perusahaan-perusahaan ini sekarang mengharapkan rakyat Indonesia untuk menebus kekacauan keuangan mereka,” kata Arif dalam siaran pers yang diterima Villagespost.com, Kamis (10/3).

Dia mengungkapkan, subsidi ini akan dibayarkan selama 25-30 tahun, dengan total sekitar US$6-7 miliar – untuk menghasilkan 15 Gigawatt listrik bertenaga batubara, yang sangat jauh di bawah kebutuhan energi Indonesia. Hal ini bertentangan dengan klaim asosiasi bahwa batubara ‘relatif murah’ dibandingkan dengan bahan bakar pembangkit listrik lainnya.

Sebagai contoh, biaya produksi listrik bertenaga surya di India telah turun menjadi US$6,5 sen/kWh (atau Rp830/kWh) sebagai hasil dari dukungan kebijakan pemerintahnya yang ambisius. Nilai tersebut kurang dari 60% dari biaya listrik bertenaga batubara saat ini di Indonesia.

“Rakyat Indonesia tidak akan pernah menyetujui dana pensiun mereka digunakan untuk menopang industri batubara yang bermasalah seperti ini,” ujar Arif.

Dia mengatakan, sumber pendanaan mulai kering karena bank dan para investor mulai melihat bahwa industri batubara menjadi aset macet. Jelas bahwa APBI-ICMA tidak mampu bangkit sendiri dan tidak memiliki masa depan. Greenpeace akan merilis analisis lebih rinci dari usulan APBI-ICMA ini dalam waktu dekat.

“Indonesia perlu meninggalkan bahan bakar kotor ini. Dana yang diminta oleh perusahaan-perusahaan batubara ini lebih baik diinvestasikan dalam energi terbarukan yang pada jangka panjang akan memberikan energi yang bersih dan lebih murah untuk rakyat Indonesia,” pungkas Arif. (*)

Ikuti informasi terkait polemik batubara >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.