Greenpeace Mendesak KLHK Buka Akses Data Moratorium

Orangutan Sumatera, terancam habitatnya oleh deforestasi (dok. worldwildlife.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace data pemerintah justru menunjukan deforestasi masih terjadi di areal moratorium. Karena itu, Greenpeace mendesak KLHK membuka akses data moratorium. Sebelumnya analisis Greenpeace terbaru menunjukan deforestasi dan kebakaran hutan terus berlanjut di dalam area moratorium.

Temuan Greenpeace fokus pada deforestasi yang terjadi di dalam areal moratorium (eksisting) maupun areal bekas moratorium, untuk membandingkan deforestasi sebelum moratorium (2005-2011) dan setelah moratorium (2011-2018). Namun KLHK tidak menjelaskan secara rinci angka deforestasi yang terjadi di areal moratorium pada periode sebelum dan sesudah moratorium, karena pemerintah selama ini kurang transparan terkait data dan informasi mengenai peta hutan termasuk data tentang deforestasi, degradasi, penerbitan izin dan emisi yang bisa diakses oleh publik.

KLHK juga kemudian tidak mampu menjelaskan soal temuan Greenpeace terkait dihapusnya total 4,5 juta ha lahan dari areal moratorium, dengan lebih dari 1,6 juta ha dari total tersebut kini telah dimiliki oleh konsesi perusahaan. “Esensi moratorium adalah melindungi hutan dan gambut dari segala bentuk deforestasi, di area yang sudah masuk kawasan moratorium saja masih terjadi deforestasi apalagi lahan yang berada di luar kawasan moratorium. Instruksi Presiden tidak mengatur sanksi sehingga lemah dalam penegakan hukum bagi yang tidak patuh,” kata Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (15/8).

Terkait persoalan efektivitas moratorium dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla), pemerintah menyebut total areal terbakar sampai dengan bulan Juli 2019 kurang lebih 135 ribu ha. Sebesar 77 persen dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB).

Kebakaran terjadi di dalam PIPPIB mencapai 0,8 persen khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99,2 persen terjadi pada areal yang memang tidak berhutan, yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistem alami tidak berhutan.

“Keterangan KLHK tersebut menunjukan kebakaran banyak terjadi di areal lahan gambut serta kawasan ekosistem alami tidak berhutan, ini menandakan pentingnya ekosistem gambut supaya tetap terjaga dan segera merestorasi gambut yang rusak untuk menjaga stabilitas iklim dan mencegah kebakaran dan kabut asap,” jelas Kiki.

Metode analisis pemetaan Greenpeace menghitung tutupan hutan dan hilangnya hutan di dalam dan di luar semua area yang pernah dimasukkan dalam moratorium pemerintah setiap tahunnya di periode 2002-2018. Karena data tutupan hutan yang disediakan oleh KLHK tidak konsisten dan tidak tersedia dalam format yang dapat diproses dalam perangkat lunak SIG.

Greenpeace Indonesia menggunakan data yang disediakan oleh Universitas Maryland (UMD) yang konsisten di sepanjang periode analisis. UMD menyediakan data tentang ‘hutan primer’, yang didefinisikan sebagai ‘tutupan hutan tropis lembab alami matang yang belum sepenuhnya ditebangi dan ditanam kembali dalam riwayat terakhir.’

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membantah data Greenpeace yang mengungkapkan deforestasi Indonesia memburuk setelah pemberlakuan moratorium moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut. Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono mengatakan, justru moratorium efektif mengurangi angka deforestasi.

Belinda mengungkapkan, laju deforestasi Indonesia sebelum dan sesudah moratorium. Dikatakannya, luas Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) adalah 66 juta ha atau sebesar 35% dari luas daratan Indonesia, dan berada baik di dalam maupun luar kawasan hutan.

“Perlu juga dipahami bahwa di dalam PIPPIB, terdapat areal berkategori kawasan hutan, lahan gambut dan hutan alam primer. Di dalam kategori kawasan hutan dan lahan gambut, terdapat areal yang tidak bertutupan hutan karena memang merupakan ekosistem alami yang dijaga seperti rawa gambut, savana, atau pun semak belukar alami. Total areal bertutupan hutan di dalam PIPPIB adalah 52,3 juta Ha, atau 79% dari luas PIPPIB,” papar Belinda, dalam siaran persnya.

Belinda menjelaskan, setelah moratorium diberlakukan pada tahun 2011, memang terjadi lonjakan angka deforestasi di tahun 2014-2015 karena kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun, bencana itu terjadi pada seluruh wilayah Indonesia, baik non-kawasan maupun kawasan hutan, tanah mineral maupun gambut, serta berhutan maupun tidak.

Belinda mengatakan, soal tutupan lahan yang hilang disebut lebih besar di periode moratorium, KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpeace untuk dasar statement tersebut. Begitupun tidak jelas metode yang dipakai dalam melakukan interpretasi citra atau apa yang mereka lakukan.

“Harus jelas rule base untuk interpretasi citra. Disitulah metodis atau tidaknya sebuah analisis spasial. Tidak sembarangan. KLHK menggunakan data resmi di bawah sistim pemantauan yang sudah dibangun secara gradual untuk memenuhi kaidah akurasi dan konsistensi suatu sistim pemantauan,” ujar Belinda.

Lebih lanjut dikatakan Belinda, untuk mengetahui efektivitas moratorium, dengan menggunakan periode yang sama, yaitu 8 tahunan, atau periode 2003-2010 untuk periode sebelum moratorium dan 2011-2018 untuk periode setelah moratorium. Maka total deforestasi periode sebelum moratorium adalah 7 juta Ha (atau + 0.88 ribu ha per tahun), dan setelah periode moratorium adalah sebesar +5.6 juta Ha (atau +0.7 ribu ha per tahun).

“Dengan informasi ini maka total deforestasi Indonesia untuk periode sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20%. Sedangkan apabila hanya fokus pada areal moratorium saja (di dalam PIPPIB), analisa yang dilakukan dengan menggunakan sistim pemantauan yang sama, memberikan hasil bahwa terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) sebesar 38%, dari periode 2003-2010 seluas+ 1.9 juta ha (sebelum moratorium)ke periode berikutnya (2011-2018),” ujarnya.

Sementara itu mengenai Karhutla, Belinda mengungkapkan, pada tahun 2019, KLHK tidak hanya melakukan pemantauan menggunakan sebaran dan akumulasi titik panas api (hot spot) sebagai informasi, namun sudah langsung melakukan penghitungan luas. Total areal terbakar sampai dengan bulan Juli 2019 adalah kurang lebih 135 ribu ha.

Sebesar 77% dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Dan sebagian besar atau 71 ribu dari 135 ribu ha (53%) terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dominasi savanna. Dikatakan, kebakaran yang tidak terelakkan terjadi di dalam PIPPIB bisa ditekan hingga mencapai 0,8% khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99.2% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan, yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistem alami tidak berhutan.

“Bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap Karhutla. Karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang. Bahkan saat ini hingga mencapai 1% dari total areal terbakar,” kata Belinda.

Sebelumnya, terutama pada tahun 2014-2015 yang merupakan tahun El Nino kuat, total luas areal terbakar di Indonesia mencapai 2,6 juta ha, dan 69% dari luas itu terjadi di luar area moratorium (PIPPIB). Kebakaran memang juga terjadi di dalam wilayah moratorium, namun hanya 3% yang terjadi pada areal berhutan.

Sisanya 97% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan yaitu lahan gambut dan kawasan ekosistem alami tidak berhutan seperti savana atau semak belukar. “Jadi tidak benar yang disampaikan oleh Greenpeace tentang moratorium dan cenderung tendensius,” ujarnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.