Greenpeace: Moratorium Sawit tak Cukup, Yang Diperlukan Pelarangan Permanen
|
Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace menilai, langkah Presiden Joko Widodo, menandatangani kebijakan Moratorium Perizinan Kelapa Sawit dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018, pada Kamis, 20 September tak cukup. Team Leader Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, yang diperlukan saat ini adalah pelarangan permanen praktik perusakan hutan termasuk dari industri sawit.
Inpres Moratorium Sawit, dalam pandangan Greenpeace kurang kuat karena kebijakan ini hanya membekukan sebagian konsesi kelapa sawit baru selama tiga tahun ke depan. Kemudian, moratorium juga hanya berlaku untuk lahan di kawasan hutan yang dikendalikan Kementerian Kehutanan dan tidak mencakup lahan yang dikendalikan oleh pemerintah daerah atau hutan di dalam konsesi kelapa sawit, yang membuat jutaan hektare hutan dan lahan gambut tersebut tidak terlindungi.
“Moratorium sawit ini merupakan langkah maju tetapi kurang bertaring karena pembekuan hanya sementara, menyisakan jutaan hektar hutan yang tidak terlindungi serta tidak ada sanksi bagi pihak yang melanggar. Industri kelapa sawit Indonesia memiliki masalah reputasi serius yang dapat diperbaiki pemerintah secara menyeluruh, sekali untuk selamanya dengan melarang secara permanen praktik perusakan hutan, termasuk yang ada di dalam konsesi,” kata Arie dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (22/9).
Pengumuman terbitnya Inpres Moratorium Perizinan Sawit tersebut muncul sehari setelah Greenpeace International meluncurkan hasil investigasi yang mengungkap 25 produsen minyak sawit telah menggunduli 130.000 hektare hutan sejak 2015. Laporan tersebut juga mengungkap deforestasi ilegal, pembangunan tanpa izin, pembangunan lahan sawit tanpa izin, pengembangan perkebunan di daerah-daerah yang dilindungi dan kasus kebakaran yang terkait dengan penggundulan hutan.
Karena itu, Greenpeace menilai, moratorium selama tiga tahun yang mencegah alokasi konsesi kelapa sawit baru di kawasan hutan, di lahan yang dikendalikan pemerintah pusat, masih memiliki sejumlah kelemahan. “Pertama, moratorium ini tidak mencegah alokasi konsesi baru pada jutaan hektar hutan alam di wilayah alokasi pengunaan lain (APL) yang dikendalikan oleh pemerintah daerah,” kata Arie.
Kedua, Inpres ini tidak mencegah praktik penggundulan hutan dan pengembangan lahan gambut di dalam konsesi kelapa sawit yang dilakukan perusahaan. Ketiga, moratorium dalam bentuk Instruksi Presiden, tidak mengikat secara hukum pada lembaga pemerintah atau pejabat setempat.
Keempat, Inpres Moratorium Perizinan Sawit tidak mengandung sanksi bagi pihak yang tidak patuh. Kelima, moratorium kelapa sawit baru ini juga bertentangan dengan sejumlah kebijakan lainnya di mana pemerintah tetap menjalankan apa yang disebut ‘deforestasi terencana’, yang tertuang dalam Laporan Status Kehutanan Indonesia 2018 – dimana laporan ini “diinginkan untuk keuntungan finansial”.
“Melalui program reforma agraria (TORA) dan landswap pemerintah terus mengalokasikan lahan-lahan baru, yang sebagian besar masih berupa hutan, untuk pengembangan perkebunan dan pertanian. Ini termasuk setengah juta hektar hutan yang dialokasikan untuk konversi ke pertanian di perbatasan provinsi Papua,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi