Greenpeace: Pemantauan Polutan PM10 Ketinggalan Zaman!
|
Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace Indonesia berpandangan, pemantauan kualitas udara yang dilakukan pemerintah daerah terhadap polutan PM10 tidak lagi memadai seiring dengan kondisi udara Jakarta dan sekitarnya yang semakin memburuk. Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Adriyanu mengatakan, pengukuran kualitas udara kini harus mencakup polutan yang lebih kecil, yakni PM2,5. Faktanya, dengan ukuran yang lebih kecil, dampak kesehatan akibat PM2,5 yang merupakan partikel halus jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan PM10 yang merupakan partikel kasar.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah menggunakan standar ini dengan ambang batas sebesar 25µg/m3 untuk harian dan 10 µg/m3 untuk rata-rata satu tahun. Pandangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah yang melihat PM10 masih layak menjadi parameter pengukuran kualitas udara, tidaklah tepat.
Bondang memaparkan, polutan PM2,5 sudah berada jauh di atas standar minimal baik itu berdasarkan patokan WHO maupun Baku Mutu Udara Ambien Nasional (65µg/m3 untuk harian dan 15µg/m3 untuk tahunan). Contohnya, pada tanggal 18 dan 19 Juli 2017, stasiun pemantauan milik Kedutaan Besar Amerika Serikat menunjukkan angka 73µg/m3 dan 80µg/m3 di Jakarta Selatan.
“Alat yang kami gunakan dalam memantau PM2,5 juga sudah kami uji komparasi dengan alat scientific lainnya (Thermo Scientific PDR 1500) dengan hasil konsistensi sekitar 98 %, yang artinya secara metode dan tingkat keakuratan, alat yang kami gunakan cukup representatif untuk mengindikasikan kualitas udara di suatu tempat,” tegas Bondan dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (3/8).
Bondan juga menegaskan, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki stasiun pemantauan PM2,5. “Sifat dari PM2,5 ini adalah persistent, tidak bisa diserap seluruhnya oleh tanaman sehingga masih akan ada PM2,5 yang akan terpapar kepada manusia,” lanjut dia.
Dengan demikian, strategi pemerintah daerah yakni penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang saat ini hanya sekitar 10 % dari aturan yang seharusnya 30% dimiliki oleh DKI Jakarta, dirasa belum optimal untuk menanggulangi masalah polusi udara. Apalagi sekarang pembangunan infrastruktur cukup marak terjadi di kawasan Ibu Kota. Sehingga diperlukan strategi dengan target dan pentahapan yang jelas untuk memperbaiki kualitas udara DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya, dengan menyasar sumber polutannya.
“Pemerintah daerah harusnya segera bertindak dan bekerja demi menyelamatkan kesehatan bahkan nyawa warganya dari polutan yang biasa disebut silent killer ini, dengan memperbanyak stasiun pemantauan udara dan memperkuat standar kualitas udara. Bukan malah sibuk menyangkal kenyataan bahwa Jakarta sudah darurat polusi udara,” tegas dia.
Sebelumnya, Greenpeace merilis hasil pengamatan atas kualitas udara di Jakarta. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia sejak Januari hingga Juni di 21 lokasi, kualitas udara di Jabodetabek terindikasi telah memasuki level tidak sehat. Temuan ini serupa dengan hasil pemantauan udara yang juga dilakukan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Angka PM2.5 harian di lokasi-lokasi tersebut jauh melebih standar WHO yaitu 25µg/m3 dan juga Baku Mutu Udara Ambien Nasional yaitu 65µg/m3.
Pemantauan di wilayah Jakarta Pusat, misalnya, udara dengan kualitas yang baik hanya kurang dari 20 hari selama semester pertama. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Jakarta Selatan. Hal ini pertanda buruk bagi penduduk Jakarta, serta masyarakat luar Jakarta yang banyak beraktivitas di Ibu Kota. Konsentrasi polutan PM2,5 yang tinggi sangat berbahaya bagi masyarakat khususnya kelompok sensitif, seperti anak-anak, ibu hamil, dan kelompok lanjut usia.
Dengan menggabungkan analisis risiko dari Global Burden of Disease Project yang dilaksanakan the Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dan tingkat PM2,5 tahunan, Greenpeace dapat menghitung meningkatnya resiko kematian karena penyakit tertentu pada berbagai tingkat PM2,5 tahunan. Salah satu hasil perhitungan, resiko kematian akibat penyakit stroke di 21 lokasi pemantauan meningkat dua kali lebih tinggi akibat tingginya konsentrasi PM2,5.
“Oleh sebab itu, keberadaan perangkat pemantauan udara khususnya yang bisa memantau konsentrasi PM2,5 sangat penting,” ujar Bondan.
Mengetahui data polutan tersebut adalah langkah awal dari berbagai hal. Pertama, masyarakat bisa mengetahui kondisi udara terkini dan melakukan langkah preventif seperti menggunakan masker yang tepat, atau bahkan mengurangi aktivitas di tempat yang memiliki kadar PM2,5 yang tinggi. Kedua, menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk merancang kebijakan untuk mencegah kondisi udara lebih buruk lagi.
Greenpeace pun melihat pemantauan kualitas udara di wilayah Jakarta yang dilakukan oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta saat ini belum memadai. Hanya terdapat lima lokasi pemantauan dengan dengan data kualitas udara yang belum real-time. Bahkan belum mencantumkan konsentrasi PM2,5. Maka itu, Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya perlu melakukan pemantauan PM2,5.
“Pemerintah harus memberikan informasi dan pendidikan mengenai bahaya kesehatan polusi udara kepada masyarakat dan melakukan koordinasi lintas lembaga untuk mencapai kualitas udara yang layak. Greenpeace pun mendorong pemerintah pusat untuk menyusun dan melaksanakan strategi dengan target dan pentahapan yang jelas untuk memperbaiki kualitas udara, serta meningkatkan standar kualitas udara,” pungkasnya. (*)