Greenpeace Ungkap Merek Ternama Yang Tersangkut Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia

Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan gambut untuk perkebunan sawit di Riau (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.comAnalisis Greenpeace Internasional mengungkap beberapa perusahaan merek ternama dunia telah memicu perubahan iklim karena masih membeli komoditas minyak sawit dari pemasok yang terkait dengan kebakaran hutan. Analisis baru ini–berdasarkan pada metodologi pemerintah Indonesia untuk memperkirakan emisi yang terkait dengan kebakaran lahan gambut–adalah pengingat yang gamblang bahwa kebakaran yang dihasilkan dari aktivitas industri ini merupakan kontributor utama terhadap darurat iklim dunia.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati mengatakan, Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia, sebagian besar disebabkan oleh kebakaran lahan gambutnya dan deforestasi yang masih terjadi dimana sebagian besar untuk menghasilkan komoditas seperti minyak sawit. “Pada sesi pembahasan soal hutan di KTT Perubahan Iklim di Madrid, orang-orang di seluruh dunia khawatir ketika mengetahui pembuat Kit-Kats, Oreo, sampo Head & Shoulder, sabun Dove dan tisu Paseo tersangkut persoalan kerusakan iklim bumi,” kata Annisa, di Jakarta, Kamis (5/12).

Dia menambahkan, perusahaan yang mengklaim sebagai ‘juara iklim’ seperti Unilever sekalipun, ternyata terkait dengan emisi gas rumah kaca dari kebakaran lahan gambut. “Perusahaan merek-merek ternama ini perlu memutuskan hubungan dengan semua pedagang dan kelompok pemasok yang kebakarannya terus terjadi, mereka memperdagangkan masa depan kita dengan komoditas seperti minyak sawit,” lanjut Annisa.

Antara 2015-2018, data menunjukkan pemasok Unilever bertanggung jawab atas akumulasi emisi gas rumah kaca sebagai akibat dari kebakaran lahan gambut di konsesi mereka, yang setara dengan 25 persen dari emisi yang dihasilkan oleh Belanda dalam setahun. Selama periode yang sama, pemasok Nestle bertanggung jawab atas lebih banyak emisi daripada Swiss dalam setahun.

“Dengan cara yang sama, pemain utama lainnya, Mondelez emisinya lebih besar dari emisi tahunan Selandia Baru, sementara potensi tanggung jawab karbon P&G adalah dua kali lipat dari emisi tahunan Norwegia,” papar Annisa.

Emisi sejumlah pedagang minyak sawit mencapai angka seperti emisi tahunan Denmark. Musim Mas mengemisi hingga sebesar 75 persen dari emisi tahunan Singapura. Emisi gabungan Sinar Mas Group dan perusahaan mereka lainnya seperti Golden Agri Resources (GAR) dan Asia Pulp and Paper (APP) setara dengan hampir 3,5 kali lipat emisi tahunan Singapura.

Pemerintah Indonesia perlu lebih transparan dan membuat data konsesi terbuka untuk umum sehingga deforestasi dan kebakaran yang sedang berlangsung dapat dengan jelas diketahui dengan perusahaan mana yang bertanggung jawab atas lahan tersebut. Selain itu, pemerintah harus menegakkan undang-undang tentang perlindungan gambut, tanggung jawab atas kebakaran, serta moratorium konsesi baru dan kebijakan lain yang berupaya melindungi hutan.

“Ini belum berjalan efektif, sehingga menyebabkan munculnya sejumlah peraturan yang memungkinkan berlanjutnya kerusakan lahan gambut dan hutan,” tegas Annisa.

Perusahaan dan pemerintah di negara-negara dimana tempat mereka bermarkas atau beroperasi, harus mengambil tindakan segera untuk memutuskan hubungan antara komoditas yang menyebabkan deforestasi dan kebakaran, dan bekerja untuk memulihkan dan melestarikan semua hutan dan lahan gambut. “Hari ini (5 Desember 2019-red) adalah hari pembahasan soal di KTT Perubahan Iklim COP-25 Madrid dimana akan ada fokus pembahasan peran hutan dalam memerangi perubahan iklim dan pada penghancuran hutan yang memicu perubahan iklim,” pungkas Annisa.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.