Gugatan Pembatalan UU Cipta Kerja Ditolak MK, KEPAL Serukan Upaya Eksaminasi
|
Jakarta, Villagerspost.com – Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya pada Selasa (3/10) lalu menolak gugatan yang dilayangkan masyarakat sipil agar MK menyatakan penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan konstitusi. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU secara formil (pembentukannya) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Karena Perpu yang merupakan kewenangan subjektif Presiden dengan menggabungkan perbaikan UU Cipta Kerja dan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, telah diobjektifkan dengan oleh DPR lewat persetujuan dalam jangka waktu yang sesuai,” demikian dinyatakan Mahkamah Konstitusi.
Putusan ini pun mendapatkan reaksi negatif dari beragam kelompok masyarakat sipil baik dari kalangan pegiat hukum, buruh, dan petani. Mereka menilai, dengan keputusan itu MK justru telah melanggar putusan MK sendiri sendiri terkait perbaikan UU Cipta Kerja dan prasyarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
“Pendapat MK dalam putusan tersebut juga saling bertentangan. Di satu sisi bahwa jangka waktu persetujuan DPR atas Perpu Cipta Kerja dipandang MK dalam jangka waktu yang dapat diterima, akan tetapi MK juga merekomendasikan perlu diatur jangka waktu pemberian persetujuan DPR,” kata Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS).
Gunawan menambahkan, putusan ini bisa menjadi preseden bagi Presiden dan DPR di kemudian hari untuk menghindari persyaratan pembentukan perundang-undangan yang baik, untuk tidak menjalankan putusan MK, dan untuk menghindari partisipasi publik secara lebih bermakna, maka dipergunakanlah Perpu. “Disisi lain dengan longgarnya Perpu, maka akan terjadi kedaruratan yang dimudahkan dan dipermanenkan,” tegasnya.
Putusan MK atas Pengujian Formil Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ini memang sangat dinantikan oleh banyak pihak, khususnya kaum pekerja dan petani. Pasalnya berlakunya UU Cipta Kerja dinilai merugikan hak mereka. Petani pun rentan kehilangan tanahnya atas nama investasi.
Tak heran dalam pembacaan putusan tersebut, diiringi dengan aksi massa buruh dan berbagai elemen rakyat di jalanan sekitar Gedung MK. Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) sebagai pemohon dalam perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 juga turut hadir secara langsung di ruang persidangan dan melalui ruang virtual.
Janses E. Sihaloho, Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law menambahkan, seharusnya permohonan pengujian formil UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU diterima oleh MK. “Hal ini ditunjukan dengan adanya dissenting opinion dari empat Hakim Konstitusi,” tegas Janses.
“Hal itu menunjukan bahwa jangka waktu persetujuan DPR melewati batasan waktu yang telah diatur secara konstitusional dan secara yuridis, dan pembentukan Perpu Cipta Kerja melanggar putusan MK dalam perkara pengujian formil UU Cipta Kerja,” tambahnya.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch menilai, putusan MK 54/PUU-XXI/2023 berbalik 180 derajat dari Putusan No 91/PUU-XVIII/2021, dengan materi yang tidak jauh berbeda. “Tetapi satu disyaratkan adanya konsultasi bermakna, satu lagi tidak perlu konsultasi bermakna, benar-benar jauh dari rasa keadilan,” tegasnya.
Rambo mengatakan, putusan MK atas Pengujian Formil Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang sudah dapat terprediksi pasca DPR mengganti salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Aswanto. Dia mengungkapkan, alasan DPR mengganti Aswanto adalah karena Hakim Konstitusi tersebut kerap menganulir undang-undang hasil dari DPR.
“Kalau kita bandingkan hakim-hakim MK yang dissenting opinion dalam Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2021 dengan Putusan MK 54/PUU-XXI/2023, komposisi-nya tidak berubah, dimana pasca penggantian Hakim MK, terdapat 5 Hakim MK yang setuju dengan UU Cipta Kerja,” paparnya.”\
Direktur Indonesia for Global Justice Rahmat Maulana Sidik juga menyampaikan, putusan MK hanya semakin melanggengkan penderitaan rakyat. “MK dalam putusannya membenarkan ihwal kegentingan memaksa dan kondisi krisis global yang dijadikan landasan UU Cipta Kerja ini lahir,” ujarnya.
Padahal, lanjut Maulana, kondisi perekonomian Indonesia dalam prediksi Bank Indonesia dan Bank Dunia baik-baik saja. Sehingga, ihwal kegentingan memaksa dan kondisi krisis hanya sebagai dalih saja untuk memuluskan UU Cipta Kerja ini diimplementasikan. “Seharusnya, MK menjadi pengawal konstitusi bisa menetapkan UU Cipta Kerja ini inkonstitusional permanen, karena sedari awal prosesnya tidak demokratis dan abai pada konstitusi,” tandas Maulana.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menekankan, Putusan MK itu telah memperkuat legalitas UU Cipta Kerja, sekaligus berkontribusi pada percepatan perampasan tanah rakyat demi investasi. “Putusan MK yang menyatakan seluruh dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum, membuktikan MK enggan mempertimbangkan fakta hukum di persidangan,” ujarnya.
Dewi menegaskan, pemerintah tidak dapat membuktikan secara objektif apa sesungguhnya keadaan dan kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum, sehingga menerbitkan Perppu. Bahkan MK juga tidak mempertimbangkan Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) yang dilakukan oleh KPA bersama para pemohon lainnya, sebagai satu kesatuan dari uji formil UU/Prp Cipta Kerja.
“Padahal Pengaduan Konstitusional menunjukkan fakta hukum di lapangan yang tidak dapat diabaikan, dalam memahami diametral konflik akibat pelaksanaan UU Cipta Kerja yang inkonstitusional,” kata Dewi.
Sunarno, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menambahkan, Putusan MK terkait penetapan Perppu No.2/2022 menjadi UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja adalah skandal Mafia Hukum yang tersistematis, Lembaga Yudikatif berkolaborasi dengan para Oligarki. “Tentu ini menjadi preseden buruk bagi sebuah negara besar Republik Indonesia yang mengklaim sebagai negara hukum, yang demokratis dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat,a’ ujarnya.
“Sangat jelas kontradiksinya bahwa penerbitan PERPPU Cipta kerja adalah sebuah produk hukum yang mencerminkan pemerintahan otoriter anti demokratis. MK, DPR dan Pemerintah tidak bekerja secara serius untuk melayani rakyat mayoritas, namun justru memberikan karpet dan sibuk melayani para investor dan oligarki,” tambah Sunarno.
Konfederasi KASBI mengecam keras Hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan menolak seluruh permohonan dari 5 Perkara tersebut. “KASBI menyatakan akan terus melakukan konsolidasi dan menggalang kekuatan gerakan rakyat untuk melawan Omnibuslaw Cipta kerja, dengan gerakan massa, baik melalui pemogokan umum/mogok nasional, dengan berkolaborasi dengan gerakan mahasiswa, serikat tani, masyarakat adat, miskin kota, dan elemen gerakan rakyat lainnya,” tegas Sunarno.
Pasca pembacaan putusan MK ini, KEPAL memandang, diperlukannya eksaminasi publik atas putusan MK tersebut. Kemudian, melanjutkan pengungkapan fakta-fakta di lapangan bahwa penerapan UU Cipta Kerja telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak-hak rakyat. “KEPAL juga menyerukan untuk meneruskan perjuangan pemajuan dan pembelaan hak-hak konstitusional,” tegas Jamses.
Editor: M. Agung Riyadi