Gugatan Qanun “Pengancam” Kawasan Ekosistem Leuser Berlanjut
|
Jakarta, Villagerspost.com – Sidang gugatan yang dilayangkan Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) terhadap peraturan daerah (Qanun) Aceh No.19 tahun 2013 tentang rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) masih terus berlangsung. Dalam perkara ini, GeRAM menggugat tidak dimasukkannya nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai kawasan strategis nasional dalam Qanun tersebut.
Kuasa hukum GeRam Harli Muin mengatakan, pihaknya berharap agar majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menyidangkan kasus ini menetapkan agar KEL sebagai kawasan strategis nasional dimasukkan dalam Qanun Tata Ruang Aceh 2013-2033. “Tata ruang Aceh ini selain tidak mengakomodir aspirasi masyarakat sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), juga mengabaikan KEL sebagai tata ruang strategis nasional dan merugikan hak orang banyak,” kata Harli dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Kamis (27/10).
GeRAM menganggap pemerintah, baik pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dengan kewajiban hukum sebagai penyelenggara negara. Perbuatan itu –tidak memasukkan KEL sebagai kawasan strategis nasional dalam Qanun RTRW Aceh– merugikan hak-hak para penggugat dan masyarakat umum di Aceh.
Harli Muin mengatakan, apa yang disampaikan para tergugat dalam sidang dengan agenda kesimpulan di PN Jakarta Pusat, sama sekali tidak dapat membuktikan bahwa penghapusan KEL, sebagai kawasan strategis nasional, memiliki alasan yang kuat secara hukum. “Sebab penyusunan Ruang tata ruang provinsi wajib mengacu pada tata ruang nasional,” kata Harli.
Sementara, di dalam Qanun Aceh No.19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh, kawasan strategis KEL dihapus dari tata ruang Provinsi Aceh. Selanjutnya, dalam Pasal 150 Ayat (2) UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi juga dilarang mengeluarkan izin. “Penghapusan KEL, sebagai kawasan strategis nasional di Aceh, memberi kebebasan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten di Aceh dapat mengeluarkan izin,” katanya.
Harli mengatakan, penerbitan Qanun Aceh No.19 tahun 2013 ini cacat hukum. Pasalnya dalam proses penyusunanan qanun tersebut, masyarakat tidak dilibatkan secara aktif. Menurut Harli, proses pelibatan masyarakat pada awal pembuatan rancangan qanun, memang dilakukan, tetapi tidak menyentuh filosofis dasar pelibatan masyarakat.
“Memang benar masyarakat terlibat, akan tetapi pelibatan ini hanya melibatkan secara kuantitas, sementara kualitas berupa masukan masyarakat tidak pernah diakomodasi. Usulan mengenai KEL misalnya, berkali-kali diusulkan masyarakat untuk dimasukkan dalam RTRW Aceh 2013-2033, tetapi DPRA dan Pemerintah Aceh tidak pernah mendengarkan,” ujarnya.
Sebagai contoh, pelibatan TM. Zulfikar, anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Dalam prosesnya, Zulfikar memang dilibatkan. “Tetapi, hanya sekali, sesudah itu tidak pernah lagi diundang pemrakarsa qanun ini,” kata Harli.
Saksi Fakta lain, Asnawi, Imeum Mukim Aceh Besar, yang juga menjadi saksi fakta dalam gugatan ini, kata Harli, mengaku sama sekali tidak pernah dilibatkan. “Padahal pak Asnawi adalah Mukim, yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan ruang di wilayah mukim,” jelasnya.
Sementara itu, Farwiza yang merupakan perwakilan para penggugat GeRAM, mengatakan, negara dapat memenangkan hati rakyat dengan memberikan keputusan seadil-adilnya dan jujur. “Bantu kami membangun Aceh dengan tata ruang yang berkeadilan bagi semua orang dan lebih baik. Kami juga mengajak masyarakat menandatangani petisi change.org/saveleuser kita ke Presiden Jokowi,” kata Farwiza.
Ikuti informasi terkait gugatan tata ruang Aceh >> di sini <<