Hadapi Tuntutan, Teriakan Bebaskan Nelayan Pulau Pari Menggema

Para nelayan Pulau Pari melakukan aksi menuntut pembebasan rekan mereka yang dikriminalisasi (dok. koalisi selamatkan pulau pari)

Jakarta, Villagerspost.com – Setelah menjalani 3,5 bulan proses persidangan, Senin (18/9) tiga nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu akan menghadapi tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ketiga nelayan tersebut sebelumnya telah didakwa dengan Pasal 368 Ayat 1 KUHP ancaman pidana 9 (sembilan) tahun penjara, Mereka didakwa telah melakukan tindak pidana pungutan liar (pungli) dan pemerasan terhadap wisatawan di pantai perawan.

Marthin Hadinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, dalam proses persidangan yang telah berlangsung baik Jaksa Penuntut Umum maupun Kuasa hukum nelayan telah mengajukan alat-alat bukti. “JPU menghadirkan 7 (tujuh) orang saksi yang memberatkan terdakwa sementara tim Kuasa hukum nelayan menghadirkan 8 (delapan) orang saksi dan 4 (empat) orang ahli yang meringankan,” kata Marthin dalam siaran pers yang diterima villagerspost.com.

Dalam persidangan, Tim Kuasa Hukum Selamatkan Pulau Pari menyatakan setelah proses persidangan berjalan menilai JPU tidak mampu membuktikan dakwaan bahwa telah terjadi tindak pidana pungutan liar atau pemerasan. Ada beberapa alasan Tim Kuasa Hukum Selamatkan Pulau pari untuk menegaskan hal itu.

Pertama, dari tujuh orang saksi yang dihadirkan JPU yakni tiga orang saksi polisi aparat kepolisian Kepulauan Seribu, tidak melihat, mendengar dan merasakan secara langsung telah terjadi pemerasan. Dua orang saksi pengunjung yang mengaku mendapatkan perlakukan pemerasan tidak mendengar, melihat, merasakan adanya ancaman berupa bentakan, suara keras, mata melotot atau ancaman bentuk fisik lainnya.

“Sementara kesaksikan dua orang PNS kepulauan seribu menyatakan pantai perawan bukan objek retribusi pemerintah daerah,” terang Marthin.

Kedua, dari 8 orang saksi yang dihadirkan kuasa hukum, 3 orang saksi fakta menjelaskan tidak melakukan pemerasan dengan ancaman dan kekerasan. Sementara 5 orang saksi menjelaskan pengelolaan Pantai Perawan merupakan hasil musyawarah bersama warga keuntungan yang diperoleh disalurkan untuk bantuan kepada anak yatim, mushola dan kepentingan sosial lainya. “Pemerintah tidak pernah mensosialisasikan adanya pelarangan donasi dan telah mengetahui warga melakukan pengambilan donasi,” papar Marthin.

Ketiga, empat orang ahli yang dihadirkan yakni ahli Prastowo Yustinus menjelaskan, terhadap Pantai Perawan karena dibangun dan dikelola oleh warga tidak dapat dijadikan objek pajak dan retribusi sesuai dengan UU No 28 Tahun 2009. Ahli Dr. Dedi Supriadi Adhuri dari LIPI menjelaskan, nelayan Pulau Pari memiliki hak pengelolaan atas Pantai Perawan dan pengambilan donasi dalam rangka keberlanjutan wisata.

Kemudian, ahli Bono Budi Priambodo menjelaskan, ketiadaan izin yang dimiliki oleh warga dalam mengelola pantai perawan merupakan permasalahan hukum administrasi sehingga sanksi yang diberikan adalah teguran hingga penghentian tempat kegiatan bukan sanksi pidana. Ahli Elfrida Gultom menjelaskan, donasi yang dilakukan nelayan adalah wilayah hukum perdata dalam bentuk perjanjian, pengutipan donasi bukan tindakan pidana.

Karena itu, kata Marthin yang juga merupakan anggota Tim Hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari, ketiga nelayan Pulau Pari tersebut tidak terbukti melanggar Pasal 368 Ayat (1) KUHP. Pasal itu berbunyi: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara maksimum 9 tahun”Maka dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti“.

Terkait dengan tuduhan melakukan pungutan liar (pungli), peraturan di Indonesia tidak mengatur istilah “pungli”. Istilah “pungli” hanya dipopulerkan oleh Kepala Staf Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamtib) yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menpan dengan gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), yang sasaran utamanya adalah pungli melalui Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977 tentang Operasi Penertiban (1977-1981).

Tugas Kopkamtib adalah membersihkan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen. Pasal yang digunakan untuk tindak-tindak pidana pungli adalah Pasal 423 KUHP yang ditujukan kepada pengawai negeri atau penyelenggara negara.

Karena itu, menurut Marthin, Tim Hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari menyatakan ketiga nelayan pulau pari tidak terbukti melakukan tindak pidana pemerasan dan pungutan liar. Tim juga menyatakan, JPU harus berhati-hati dalam menyusun tuntutan, berdasarkan fakta-fakta dipersidangan sudah seharusnya Jaksa menuntut lepas dari tuntutan. “Tim juga meminta Komisi Yudisial mengawasi proses putusan,” tegas Marthin. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.