Harga Daging Dipaksa Turun, Peternak Terancam Mati

Pedagang daging sapi di pasar tradisional (dok. jabarprov.go.id)
Pedagang daging sapi di pasar tradisional (dok. jabarprov.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Sikap pemerintah yang memaksa untuk menurunkan harga daging sapi hingga ke angka Rp80 ribu per kilogram dinilai akan mematikan 5,3 juta peternak sapi di Indonesia. Pasalnya, kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini bukan sekadar masalah tingginya permintaan, tetapi juga karena tingginya harga pakan sapi.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan mengatakan, saat ini harga pakan untuk per kilogram daging sapi sudah mencapai Rp45-an ribu. “Oleh karena itu, jika  kebijakan itu dipaksakan, berarti pemerintah memaksa peternak untuk mensubsidi orang kaya,” kata Daniel seperti dikutip dpr.go.id, Jumat (3/6).

Jika dipaksakan, kata dia, peternak akan rugi sebesar Rp70 ribu/kg. “Jadi, sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan lintas menteri khusus untuk pangan ini,” tegas politisi PKB itu.

(Baca juga: Impor, Pemerintah Tetapkan Harga Bahan Pokok)

Apalagi, kata Daniel, pemerintah punya anggaran swasembada sapi mencapai Rp210 triliun. Dia juga meminta agar pemerintah tidak asal tuding ada mafia atau kartel sapi. Meroketnya harga daging akibat tingginya harga pakan, dianggap sebagai bukti ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga.

“Padahal, pemerintah bisa membuat kebijakan dengan harga tertinggi di pasaran, dan siapa yang melanggar ketentuan itu bisa dijatuhi sanksi. Misalnya dilarang berjualan selama satu bulan dan sebagainya,” ujarnya.

Hanya saja data jumlah kebutuhan daging dan impor sapi itu sendiri berbeda antar institusi pemerintah. Baik Badan Pusat Statistik, Bulog, dan Kementerian Pertanian. Karena itu perlu dibentuk Badan Pangan Nasional (BPN), dan Badan Urusan Logistik (Bulog) adalah paling tepat, karena sudah ada perwakilannya di seluruh Indonesia. “Jadi, Bulog harus menjadi stabilisator harga pangan di Indonesia,” pungkasnya.

Sementara itu menurut pengamat ekonomi dari Indef Enny Sri Hartati, masalah pangan itu tak sekadar harga murah, tapi juga ketersediaan, dan tak boleh tergantung kepada negara lain. Kecuali hanya satu dua komoditas pangan saja. “Pada prinsipnya ketergantungan (impor) pangan itu tak boleh lebih dari 50%,” ujarnya.

Kalau mahalnya daging itu terkait pakan yang mahal, kata Enny, kenapa pemerintah tidak serius menangani industri pakan ternak, yang selama ini hanya dimonopoli oleh lima kartel industri. “Yang pasti sejak 2015, harga daging itu tetap naik, dan terus naik. Maka pemerintah harus ada koreksi atas komoditas daging untuk rakyat ini. Bahwa harga itu tergantung suplai, dan di suplai inilah ada peluang untuk permainan harga,” jelas Enny.

Persoalannya, kata dia, mengapa hal itu dibiarkan? Gula misalnya kini naik Rp5.000, padahal gula termasuk pangan yang bisa bertahan lama disimpan. Telur juga naik Rp4.000 dan sebagainya. “Artinya pemerintah tidak mengantisipasi masalah yang terjadi setiap tahun ini,” pungkas Enny.

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy juga menyayangkan data yang berbeda dari ketiga institusi pemerintah tersebut. Perbedaan data ini menjadi peluang bagi kelima kartel pakan ternak untuk bermain.

Untuk mengatasi hal ini, kata dia, kuncinya hanya satu, yaitu menjadikan Bulog sebagai stabilisator harga pangan. “Saya sejak tahun 2003 sudah mendesak agar pemerintah menjadikan Bulog sebagai stabilisator harga, berikut industri produksi pangan, badan pangan, dan pasar. Jadi, kalau Wantimpres rapat dan memutuskan harga daging sapi Rp80 ribu/kg, maka satu-satunya jalan adalah impor, karena pemerintah tidak punya kebijakan yang antisipatif,” tambahnya.

Dengan demikian kata Ichsanuddin, kalau masalah yang sama ini selalu gagal berulang-ulang, berarti ada birokrasi, pengusaha (kartel), dan parpol yang selalu bermain. “Masalah ini kan terjadi setiap tahun, kalau tidak mampu diselesaikan berarti ada permainan,” katanya

Selain itu selama nilai tukar rupiah lemah, maka selama itu pula menurut Ichsanuddin, negara ini tak bisa melakukan stabilitas harga. Yang terjadi adalah pemiskinan struktural, karena kebijakan pemerintah tidak menyelesaikan secara strukutural.

“Jadi jangan teriak-teriak Trisakti dan Nawacita semu, selama negara ini pangan dan nilai tukar uangnya masih dipermainkan negara lain. Padahal Bank Indonesia (BI) itu tugasnya untuk mengantisipasi inflasi dan menstabilkan nilai rupiah. Kalau gagal, maka negara ini akan terus berhadapan dengan gejolak harga,” urainya.

Sementara kebijakan pemerintah yang salah kata Ichsanuddin, akan melahirkan kemiskinan dan kejahatan. “Politik boleh berganti, tapi pengusaha, dan bandar tidak berubah, maka pemerintah akan terus dikendalikan oleh bandar. Jadi, selama 15 tahun paska reformasi ini Indonesia tidak pernah mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan serta target pertumbuhan ekonomi selalu gagal,” pungkasnya. (*)

Ikuti informasi terkait impor pangan >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.