Harga Super Mahal Polusi Udara Jakarta

Para aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi mengingatkan bahaya ancaman polusi udara (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Sebuah alat baru yang diluncurkan oleh Greenpeace Asia Tenggara dan IQAir Visual menghitung biaya super mahal yang disebabkan oleh polusi udara yang terjadi di Jakarta. Berdasarkan perhitungan tersebut, polusi udara telah menelan biaya ekonomi Rp 21,5 triliun, atau 1,7 kali lipat dari defisit BPJS, dan setara dengan 26% dari anggaran kota Jakarta tahun 2020.

Meskipun ada penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) karena COVID-19, kualitas udara di Jakarta tetap dalam kisaran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Citra satelit dan analisis yang disusun oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan bahwa sementara konsentrasi NO2 turun 33%, tingkat polusi PM2.5 tetap tinggi.

Greenpeace mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk menambah stasiun pemantauan kualitas udara yang dapat mewakili Jakarta secara keseluruhan, menyediakan sistem transportasi publik terintegrasi, dan berkoordinasi dengan pemerintah Jawa Barat dan Banten untuk mengendalikan polusi udara lintas batas.

“Kualitas udara baru-baru ini di Jakarta menunjukkan bahwa tindakan pemerintah terhadap polusi udara masih jauh dari optimal. Kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang dituangkan dalam Ingub 66 harus berisi target dan tolok ukur kualitas udara yang jelas, dan dievaluasi secara teratur,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (9/7).

Selama masa pendemi, penurunan konsentrasi NO2 di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh penurunan kegiatan pada sektor transportasi dan industri selama masa PSBB. Namun, sumber pencemar utama, seperti pembangkit listrik tenaga batubara yang berlokasi di luar Jakarta, termasuk pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Banten, terus beroperasi seperti biasa.

Khususnya, NOx dari sumber tersebut dapat teroksidasi untuk membentuk PM2.5, yang merupakan partikel mikro yang memiliki periode bertahan lama di atmosfer dan dapat terbang cukup jauh. Karena lintasan angin yang berlaku, polutan PM2.5 dari pembangkit batubara ini mencapai wilayah Jakarta selama periode PSBB, dan mempengaruhi kualitas udara di kota.

Selama masa PSBB transisi, konsentrasi PM2.5 dan NO2 di Jakarta terus meningkat. Pada 15 Juni, Jakarta berada di peringkat satu dari lima kota di dunia dengan kualitas udara terburuk menurut database IQAir Visual.

Terdapat bukti yang kuat bahwa paparan polusi udara jangka panjang meningkatkan risiko terinfeksi COVID-19 yang parah hingga menyebabkan kematian. [2] Paparan polusi udara kronis dikaitkan dengan penyakit seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan penyakit paru-paru kronis. Pasien dengan kondisi ini memiliki risiko lebih besar dirawat di rumah sakit bila terinfeksi COVID-19.

Seperti diketahui, polusi udara bertanggung jawab atas kematian dini sebanyak 6.100 jiwa di Jakarta sejak 1 Januari 2020. Karena itu, Greenpeace mendesak pemerintah segera beralih ke energi terbarukan. “Pemerintah harus segera beralih ke sumber energi terbarukan, melakukan inventarisasi emisi reguler, dan memperketat standar kualitas udara ambien nasional,” pungkas Bondan.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.