Harus Ada Kontrol Rakyat Dalam Perundingan RCEP
|
Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak Negara-negara ASEAN agar membuka teks perundingan perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) kepada publik, sehingga rakyat bisa mengkritisi isi perjanjian yang berpotensi melanggar hak-hak dasar publik. Desakan ini disampaikan oleh Megawati, Knowledge & Campaign Manager IGJ, yang hadir dalam pertemuan Stakeholder Engagement antara CSOs dengan Komite Perunding RCEP di sela berjalannya putaran perundingan ke-18 perjanjian RCEP pada 10 Mei 2017, di Manila, Filipina.
Putaran perundingan RCEP ke-18 ini berlangsung sejak 2 Mei hingga 12 Mei mendatang. Isi perjanjian RCEP yang sangat comprehensif dan tidak lagi sekedar mengatur perdagangan barang dan jasa secara sempit, dianggap akan memiliki dampak luas terhadap hak dasar publik. “Oleh karena itu, perundingan RCEP harus melibatkan publik secara luas dengan cara demokratis guna memastikan perlindungan hak asasi manusia diatas perjanjian RCEP,” kata Megawati dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Kamis (11/5).
Untuk diketahui, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), adalah kerjasama perdagangan dan ekonomi pada level regional yang melibatkan sepuluh negara ASEAN dan enam mitra ekonominya. Kesepuluh negara itu adalah China, India, Jepang, Korea, Australia, dan New Zealand. Ada potensi dalam kerjasama ini Hongkong akan masuk. Beberapa isu yang dirundingkan di dalam RCEP adalah: perdagangan barang, jasa, perlindungan investasi, kompetisi, e-commerce, pengadaan barang pemerintah, perlindungan hak kekayaan intelektual, UMKM, dan sebagainya.
Bersamaan dengan itu, di Jakarta, Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti, menyampaikan selama ini perjanjian perdagangan internasional tidak pernah dapat dikontrol oleh rakyat. Hal ini dikarenakan kesalahan dalam system hukum nasional.
“Perjanjian perdagangan internasional tidak termasuk perjanjian yang harus diratifikasi dengan undang-undang, sehingga kekuasaan absolute pemerintah sangat besar tentang pengikatan Indonesia ke berbagai FTA. Hal inilah yang menyebabkan rakyat sulit melakukan kontrol,” kata Rachmi.
IGJ sendiri pada, Rabu (10/5) telah menggelar diskusi publik bertajuk: |Kontrol Rakyat Atas Pengikatan Indonesia Dalam Perjanjian Pasar Bebas”. Diskusi publik ini diadakan untuk menyampaikan hasil studi IGJ mengenai tinjauan kritis atas UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Menurut peneliti senior IGJ, Irfan Hutagalung, dalam studi ini disimpulkan bahwa UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional merupakan sumber persoalannya. “Masalah kriteria perjanjian internasional yang diatur dalam Pasal 10 undang-undang tersebut menyebabkan banyak sekali perjanjian perdagangan internasional yang hanya cukup disahkan dengan peraturan presiden, sehingga fungsi check and balances yang seharusnya dilakukan oleh DPR menjadi hilang,” jelasnya.
Oleh karena itu, IGJ memandang perlunya ‘rules of the game’ yang jelas dalam tata hukum nasional untuk memastikan kontrol rakyat atas kekuasaan pemerintah dalam berbagai perundingan FTA yang dilakukan oleh Indonesia, termasuk di dalam perundingan RCEP. “Untuk itu, UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus segera direvisi,” tutup Rachmi.