HPP Gula Naik, Pemerintah Beli Gula Petani
|
Jakarta, Villagerspost.com – Setelah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras, kini pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memutuskan untuk menaikkan HPP gula. HPP gula naik dari sebelumnya Rp8.500 per kilogram (kg) menjadi Rp 8.900/kg.
Keputusan kenaikan HPP gula ini disampaikan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel saat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) berdialog dengan petani dan masyarakat, di Pabrik Gula (PG) Gempolkerep, Kabupaten Mojokerto, Jatim, Kamis (21/5) siang.
“Saya ingin mengumumkan Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) tentang HPP gula kristal putih 2015,” kata Mendag Rahmat Gobel seperti dikutip setkab.go.id, Jumat (22/5). Yang dimaksud gula kristal putih adalah yang dapat dikonsumsi langsung tanpa proses lebih lanjut.
Presiden Jokowi sendiri mengemukakan, HPP itu artinya pemerintah harus tanggung jawab. “Harus tanggung jawab, dan stok itu bisa dipakai untuk stok nasional agar semuanya bisa terkendali dengan catatan petani bisa dapat margin yang cukup. Kuncinya menurut saya, jangan ada yang mainain jadi sistemnya tidak akan rusak,” kata Jokowi.
Menteri BUMN Rini Soemarno yang hadir dalam kesempatan itu mengemukakan, sebelumnya, tahun 2014 lalu, HPP untuk gula petani sebesar Rp8.500. Namun, harga gula petani ini tidak dijaga sehingga kerap menjadi turun.
Karena itu, pemerintah menugaskan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk dapat membeli harga gula petani dengan harga Rp8.900/kg. “PT PPI berperan sebagai pemegang stok nasional untuk menjaga stabilitas harga gula, terutama harga gula di tingkat petani,” jelas Rini.
Pabrik Gula Gempolkerep berdiri sejak tahun 1912 dan merupakan unit usaha dari PT Perkebunan Nusantara X. Pabrik yang terakhir beroperasi pada bulan November 2014 itu sebelumnya tercatat memproduksi sebesar 468.003 ton gula. Menurut laporan Direktur Umum PTPN X Subiyono, Pabrik Gula Gempolkerep akan siap beroperasi kembali pada bulan Mei 2015 dengan target 507.714 ton meningkat sebesar 8,48%.
Sebelumnya, pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) atas komoditas paling penting di negeri ini. Kebijakan tersebut diharapkan akan menjadi payung hukum bagi Perum Bulog menyerap gabah dan beras Petani.
Pemerintah lewat Inpres tersebut menaikkan harga pembelian Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen sebesar Rp3.700 per kilogram (kg) di tingkat petani dan Rp3.750/kg di penggilingan. Sementara itu, harga pembelian Gabah Kering Giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14 persen dan kotoran maksimum 3 persen adalah Rp4.600/kg di penggilingan atau Rp4.650/kg di gudang Bulog.
Sedangkan untuk harga pembelian beras kualitas kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir maksimum 2 persen dan derajat sosoh minimum 95 persen adalah Rp7.300/kg di gudang Perum Bulog.
Harga Pembelian Pemerintah untuk gabah dan beras tersebut mengalami peningkatan dibandingkan HPP yang diterapkan dalam Inpres no 3 tahun 2012 yang mana untuk harga pembelian Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp3.300 per kilogram (kg) di petani, atau Rp3.350/kg di penggilingan.
Meski demikian menurut Koordinator Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, peningkatan HPP tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat ini. Salah satunya, HPP hanya mengikat Bulog, tidak pada seluruh pelaku pasar. “Apa implikasinya? Penentuan harga sepenuhnya menjadi kuasa pasar yang umumnya digerakan oleh para pedagang besar,” kata Said kepada Villagerspost.com.
Harga yang berlaku dipasar tidak sebanding lurus dengan HPP. Kajian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) di akhir 2012 menunjukkan bahwa di Boyolali dan Klaten, HPP tidak cukup kuat untuk mendongkrak harga yang cenderung dipermainkan tengkulak lewat sistem tebasan. Sementara di karawang, HPP tidak berguna karena harga sudah jauh diatas HPP.
Karena itu, kata Said, kedepan perlu dipikirkan lebih jauh terkait model kebijakan harga ini. Kembali ke kebijakan harga dasar bisa jadi pilihan. Dengan skema ini pemerintah dapat melakukan pengaturan harga yang menguntungkan petani. Kebijakan ini pernah dilakukan sebelum era liberalisasi tahun 2000-an. “Tentu saja, skema ini juga perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi kekinian,” ujarnya. (*)