IGJ: Jokowi Harus Cermat Dalam Membahas Perdagangan dan Isu Reformasi WTO

Aksi menentang WTO dan liberalisasi sektor pangan (dok. spi.or.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghitung secara cermat posisi Indonesia dalam pembahasan soal perdagangan dalam KTT G20 di Osaka, Jepang. Hal ini karena beberapa isu krusial perdagangan terkait perang dagang AS dan China akan menjadi salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan para pemimpin G20.

Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti berpandangan, forum pertemuan para pemimpin G20 kemungkinan akan digunakan oleh Jokowi untuk melakukan lobi terkait dengan pembukaan akses pasar komoditas dagang utama Indonesia di beberapa pasar utama, termasuk melobi AS untuk memberikan akses pasar lebih leluasa bagi Indonesia.

“Tentu forum itu akan dimanfaatkan pemerintah untuk melobi negara tujuan ekspor potensial Indonesia, termasuk upaya masuk ke pasar AS dengan lebih leluasa. Tapi, tentu tidak ada makan siang gratis, dan berpotensi akan di trade off dengan kepentingan mereka terhadap Indonesia,” tegas Rachmi, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (29/6).

Rachmi menjelaskan, potensi adanya tekanan balik terhadap kepentingan Indonesia tersebut akan berdampak terhadap posisi diplomasi perundingan Indonesia. Salah satu yang dikhawatirkan Rachmi adalah terkait dengan isu Reformasi WTO yang menjadi salah satu bola liar pembahasan di G20. Indonesia akan masuk pada lobby negara maju seperti AS, Eropa, dan Jepang termasuk China yang memiliki kepentingan besar terhadap isu tersebut.

“Ruang pertarungan perang dagang telah diperluas ke dalam perundingan di WTO. Pengaruh AS dan China dalam agenda Reformasi WTO sangat kuat, dan saat ini posisi negara-negara berkembang menjadi pertaruhannya,” terangnya.

Menurut Rachmi agenda Reformasi WTO bukan semata menguatkan perdagangan multilateral ditengah praktik proteksionis dan unilateral, tetapi juga ada kepentingan dari masing-masing AS dan China untuk memperebutkan dominasinya di WTO. Sebelumnya di tahun 2018, AS mengeluarkan proposal ke WTO, dan didukung oleh Eropa dan Jepang, untuk meminta agar merekonstruksi lagi penerapan Special and Differential Treatment bagi negara berkembang, khususnya untuk sektor pertanian.

Termasuk mendorong di WTO untuk melakukan self-declare bagi negara berkembang. Proposal ini dikeluarkan karena ditengarai China diuntungkan dari ketentuan tersebut sebelumnya. Ketidakpercayaan AS terhadap WTO lebih kental nuansa pertarungan dengan China.

Dalam menjawab proposal AS, Eropa, dan Jepang, tak mau kalah China pun menggalang dukungan dari kelompok negara berkembang dan kurang berkembang seperti, India, Afrika Selatan, termasuk Indonesia, dengan melakukan pertemuan mini ministerial meeting di India beberapa waktu lalu. Beberapa isu lain yang mengemuka dalam Reformasi WTO adalah mengenai penyelesaian agenda Doha, mendorong perjanjian E-commerce sebagai perjanjian pluraliteral yg dapat disepakati tanpa konsensus, dan mekanisme penyelesaian sengketa WTO.

“Bagi kami, baik posisi AS dan China dalam pusaran perdebatan Reformasi WTO harus dicermati dengan baik oleh Jokowi. Posisi AS, Eropa, dan Jepang sudah tentu merugikan posisi negara berkembang. Disisi yang lain, China juga menggunakan standar ganda, yang tetap ingin berstatus sebagai negara berkembang dan dapat menikmati fleksibilitas yang ada, tetapi agresif mendorong perjanjian e-commerce untuk dibahas sesuai skema mereka dan enggan menghapus subsidi pertanian dan perikanan,” terang Rachmi.

Rachmi juga mengingatkan bahwa Indonesia harus fokus dulu dengan penyelesaian Agenda Doha di WTO. Karena inilah kunci penting bagi kepentingan perdagangan Indonesia khsusnya dalam pencapaian tujuann ke 17 SDGs.

“Seharusnya Jokowi mengambil kepemimpinan bagi negara berkembang lainnya dalam pembahasan perdagangan berkelanjutan (SDGs Goal 17) dengan mendesak penyelesaian Agenda Doha, khususnya mengenai isu pertanian dan mekanisme special and differential treatment. Jangan sebaliknya malah terjebak dalam lobi dua pihak yang sedang bertarung baik AS atau China, hanya untuk kepentingan jangka pendek,” tegas Rachmi.

Hasil pembahasan KTT G20 akan menjadi bahan diskusi untuk KTT WTO ke 12 di Kazakstan pada tahun 2020. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus berhitung secara cermat dalam menyusun diplomasi perdagangan internasional untuk melindungi kepentingan rakyat Indonesia.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.