IGJ: Osaka Track Ciptakan Kolonialisasi Data
|
Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) kembali mendesak agar Pemerintah Indonesia untuk tidak ikut menyepakati Osaka Track yang didorong oleh negara maju dalam KTT G20 untuk segera memulai perundingan perjanjian E-commerce di WTO. Hal ini karena ketentuan mengenai arus bebas data lintas batas (Cross border data free flow) dan larangan data lokalisasi hanya akan merugikan Indonesia dan negara berkembang lainnya, akibat tidak adanya jaminan keamanan data khususnya data publik.
KTT G20 di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni 2019 menghasilkan sebuah deklarasi para pemimpin G20 yang salah satunya adalah mendorong untuk membuka arus bebas data lintas batas serta mendorong pembahasan tersebut untuk segera dirundingkan di WTO. Pemerintah Jepang, AS, dan China mengeluarkan sebuah proposal bernama Osaka Track, yaitu sebuah agenda untuk segera membahas perjanjian perdagangan digital, khususnya mengenai liberalisasi data, di WTO
Peneliti Senior IGJ, Olisias Gultom, menyatakan Indonesia dan kebanyakan negara berkembang lainnya belum memiliki regulasi perlindungan data publik dengan standar yang sama dan memadai. Sehingga akan menimbulkan resiko yang sangat tinggi jika liberalisasi data diberlakukan sebelum negara memiliki regulasi yang kuat.
“Mengenai regulasi perlindungan data publik masih belum ada standar yang sama di dunia. Hari ini kompetisi regulasi negara maju untuk dapat diadopsi di dunia terus terjadi. Indonesia sendiri mau menggunakan standar yang mana, itu pun masih jadi perdebatan. Oleh karena itu, perlu ada proses diskusi terlebih dahulu diantara anggota WTO, khususnya negara-negara berkembang dan LDCs, untuk menghitung untung-ruginya bagi mereka,” kata Olisias, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (5/7).
Lebih lanjut Olisias menjelaskan, pengumpulan data oleh perusahaan big tech yang saat ini dilakukan tanpa proteksi dan terkontrol, sama saja dengan membuka ruang terjadinya “Kolinialisasi Data” oleh perusahaan Big Tech. Misalnya, jika perjanjian perdagangan digital dalam WTO atau FTA tidak membatasi aktivitas cross border data flows, maka dengan leluasa perusahaan big tech di negara maju dapat dengan leluasa memindahkan data yang ada di Indonesia ke tempat yang menguntungkan baginya.
Dan pada sisi yang bersamaan mempersulit otoritas Indonesia untuk mengakses data tersebut apabila terjadi masalah atau dibutuhkan. Jika semua data dunia mengalir kembali ke beberapa pusat teknologi di negara maju, tanpa batasan atau pajak, ini akan semakin memperkuat monopoli mereka, memperlebar kesenjangan privasi, dan menjadikan negara-negara berkembang sebagai konsumen pasif, daripada partisipan dalam ekonomi digital.
“Oleh karena itu, penyelesaian pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi sangat mendesak untuk segera disahkan walaupun mengingat masa kerja DPR RI tinggal beberapa bulan lagi,” tukasnya.
Oleh karena itu, ketimbang ikut menyepakati liberalisasi data tanpa bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, Olisias menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk mewajibkan penempatan server data secara lokal di wilayah Indonesia. Hal ini setidaknya dapat menjamin kemudahan melakukan akses bagi otoritas Indonesia terkait dengan persoalan hukum, pajak, keuangan, atau gangguan sosial yang bersifat masif apabila diperlukan.
“Penguasaan data akan menjadi sumber ekonomi baru bagi Indonesia, sehingga ketentuan lokalisasi data perlu dilakukan di Indonesia,” ujarnya.
Olisias mengakui, untuk mewajibkan lokalisasi data memang membutuhkan prasyarat infrastruktur yang memadai dimana Indonesia masih memiliki banyak persoalan. “Tapi ini justru harus menjadi fokus agenda infrastruktur digital pemerintah Indonesia untuk memajukan industry digital di Indonesia kedepannya,” tegas Olisias.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti, proposal Jepang, AS, dan China tentang Osaka Track dalam isu digital ekonomi yang disampaikan pada 28 Juni 2019 di KTT G20 kemarin harus ditolak oleh Indonesia. Ketiga negara maju tersebut mendesak agar pembahasan perjanjian digital trade dilakukan dalam skema perjanjian plurilateral ketimbang multilateral. Tentu skema plurilateral akan merugikan kepentingan anggota negara berkembang dan LDCs di WTO.
“Desakan AS, Jepang, dan China untuk membahas perjanjian digital trade di WTO dengan skema plurilateral sama saja mengkhianati multilateralisme. Negara maju inginnya fast track dengan kepentingannya sendiri dalam memasukan pembahasan isu baru, tetapi meninggalkan apa yang menjadi isu penting dalam Agenda Doha untuk kepentingan negara berkembang dan LDCs(miskin-red),” tegas Rachmi.
Lebih lanjut Rachmi menjelaskan, sebagian besar negara berkembang, termasuk India, Afrika, dan Indonesia, secara konsisten menuntut agar negosiasi tentang perdagangan elektronik/digital harus dilakukan berdasarkan program kerja tahun 1998, yaitu dengan proses negosiasi multilateral berdasarkan pada pengambilan keputusan berdasarkan consensus. “Isu perdagangan digital masih perlu dielaborasi secara seksama untung ruginya, khususnya bagi negara berkembang dan LDCs,” ujarnya.
Rachmi menegaskan, belum saatnya memulai perundingan, karena level ‘playing field‘-nya belum sama. “Skema perundingan plurilateral memang sengaja didorong oleh negara maju untuk memaksa negara berkembang ikut serta dalam pembahasannya, sehingga negara maju akan dengan mudah melakukan trade-off dengan kepentingan negara berkembang,” terangnya.
Editor: M. Agung Riyadi