IGJ: UU Cipta Kerja Cacat Formil

Anggota Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL), menggugat UU Ciptaker ke MK (dok. kepal)

Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai UU Cipta Kerja memang cacat formil secara konstitusional. Hal ini disampaikan setelah menyimak dengan seksama pengakuan DPR dalam keterangannya yang disampaikan pada sidang uji formil UU Cipta Kerja hari ini Kamis (17/6) di Mahkamah Konstitusi secara virtual.

Dalam keterangan pihak DPR yang disampaikan oleh Arteria Dahlan, diakui bahwa revisi empat undang-undang di bidang pertanian dan pangan dalam UU Cipta Kerja merupakan bentuk kepatuhan Indonesia kepada perjanjian WTO untuk memudahkan impor pangan dan sektor pertanian lainnya sebagai komitmen yang diikatkan di internasional sebagai anggota WTO.

Keempat undang-undang tersebut antara lain: UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.

Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti mengatakan, pernyataan DPR telah meyakinkan masyarakat bahwa UU Cipta Kerja disusun memang bukan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat sebagaimana dalam amanat Konstitusi. “Seharusnya, secara filosofis tujuan pembentukan suatu undang-undang adalah untuk memberikan kepastian hukum untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dapat terpenuhi,” jelas Rachmi, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (21/6).

Apalagi sejak awal perencanaannya, pembentukan UU Cipta Kerja ini tidak disertai dengan Naskah Akademis yang memadai mengingat peran Naskah Akademis dalam pembahasan suatu RUU menjadi landasan filosofi, yuridis dan sosiologis, agar tujuan Undang-Undang dapat diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 Jo UU No.15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Rachmi menegaskan, pengesahan UU Cipta Kerja yang memudahkan impor pangan ini, mempertaruhkan kehidupan lebih dari 49 juta petani di Indonesia. “Pada masa yang akan datang, UU ini akan melanggengkan krisis pangan karena akan menciptakan ketergantungan pangan kepada negara lain,” tegasnya.

Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Advokasi IGJ mengungkapkan, kondisi 49 juta petani dan pangan nasional kita semakin dilemahkan. Terlebih ketika DPR dan Pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja yang diakui sebagai bentuk harmonisasi dengan kebijakan perdagangan global ke dalam regulasi nasional.

“Ini menandakan bahwa kedaulatan bagi Pemerintah untuk mengatur kebijakan yang pro-rakyat hanya omong kosong belaka. Kami juga mengingatkan bahwa perlu dilakukan tinjauan ulang terkait keanggotaan Indonesia di WTO, karena konsekuensinya sangat merugikan bagi pertahanan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Kalau merugikan, kenapa harus diteruskan?” ungkapnya.

Tidak hanya itu, aturan dalam UU Cipta Kerja yang memberikan kelonggaran bagi pangan impor, tentunya berakibat pada konsumsi pangan nasional berasal dari pangan impor. Dikarenakan, pangan impor sudah dilegitimasi oleh UU Cipta Kerja sebagai sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diubah dalam UU Cipta Kerja.

“Benar saja angka impor pangan Indonesia terus meningkat, tercatat pada kuartal pertama tahun 2021 naik sebanyak 379 ribu ton atau naik 19,60 persen dibandingkan dengan kuartal pertama 2020 yang hanya sebanyak 317 ribu ton,” papar Maulana.

Mirisnya, kemudahan bagi pangan impor masuk ke Indonesia semakin dibuka lebar, sementara sanksi pidana bagi pelaku usaha atau perusahaan importir dihapuskan. Seperti dalam Pasal 101 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang di UU Cipta Kerja telah dihapuskan mengenai pemidanaan terhadap pelaku usaha yang mengimpor pangan saat komoditas pangan domestik terpenuhi.

Sehingga, pasal ini menjamin tidak ada sanksi bagi pelaku usaha dan atau importir dalam melakukan impor saat pangan domestik terpenuhi. Penghapusan sanksi ini sangat berbahaya, sebab me-legitimasi rent seeker (mafia pencari untung) di sektor pangan dan importir nakal yang selama ini melakukan impor namun mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Karenanya, bagi kami setelah mendengar keterangan DPR dan Pemerintah dalam persidangan uji formil UU Cipta Kerja hari ini, jelas menunjukkan bahwa produk omnibus law yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR sangat jelas mengakomodir kepentingan kaum elit dan pemodal global dengan mengesampingkan kepentingan rakyat kecil,” tegas Maulana.

Sidang lanjutan uji formil Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja akan kembali digelar pada hari ini Kamis, 24 Juni 2021 dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari para pemohon. Indonesia for Global Justice (IGJ) yang tergabung dalam Koalisi Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) adalah salah satu pemohon uji formil UU Cipta Kerja dengan Nomor Perkara 107/PUU-XVIII/2020

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.