Indef: Kebijakan Swasembada Pangan Jokowi Belum Sejahterakan Petani
|
Jakarta, Villagerspost.com – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eny Sri Hartati mengatakan kebijakan swasembada pangan yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo belum menyentuh substansi dari swasembada itu sendiri. Eny menegaskan, swasembada pangan kuncinya adalah memperlakukan subyek dari swasembada itu agar benar-benar menjadi ujung tombak semua program swasembada pangan.
“Ujung tombak pangan itu siapa? Ya petani, semua negara yang berhasil melakukan swasembada pangan, mewujudkan ketahanan pangan dengan baik, menempatkan petani sebagai subyek, sebagai the first man,” kata Eny, kepada Villagerspost.com, usai acara yang diadakan Lembaga Survei KedaiKopi, di Jakarta, Rabu (13/2).
Karena itu, pemerintah harus membenahi dulu programnya agar sesuai dengan filosofi tersebut. Ketika petani menjadi subyek, seluruh kebijakan ujungnya tidak hanya meningkatkan produktivitas petani, tetapi juga menyejahterakan petani.
“Kalau petani produktif, dan sejahtera, daya tarik sektor pertanian akan mampu menarik investor masuk, banyak teknologi modern yang masuk. Kalau pertanian masih terpinggirkan, tidak punya nilai keekonomian, sampai kapan pun tidak akan berhasil,” papar Eny.
Terkait tawaran program pangan antar kandidat calon presiden di Pilpres 2019 ini, Eny mengatakan tidak ada perbedaan signifikan antara visi dan misi kedua pasangan calon sejauh yang sudah disampaikan ke publik. “Kita maih menangkap wacana general atau normatf,” ujarnya.
Misalnya, soal target tidak melakukan impor pangan, menjaga stabilitas harga pangan. “Ini target normatif, tetapi bagaimana supaya tidak impor, bagaimana memperbaiki sektor hulu dan hilir, belum ada tawaran yang revolusioner kepada publik, yang kalau itu dilakukan, persoalan bisa diselesaikan. Jadi belum konkret,” ujar Eny.
Soal produktivitas pangan misalnya, saat ini saja di kubu petahana masih direpotkan soal adanya perbedaan atau diskrepansi data antara Kementerian Pertanian dengan kementerian terkait lainnya, termasuk Kementerian Perdagangan. “Walaupun akhirnya ada BPS yang menegaskan, ada surplus, sedikit dalam hal beras misalnya sebesar 2 juta ton, tetapi ketika harga beras naik tetap saja solusinya pemerintah impor. Ini nggak konsisten, ada kelebihan, tetapi harga naik dan harus impor,” jelasnya.
Seharusnya, untuk menjaga stabilitas harga pemerintah mencari kebijakan lain. “Misalnya, mencari wilayah yang surplus produksi untuk memenuhi daerah yang defisit. Jadi jangan impor,” ujarnya.
Ekonomi, kata Eny, memang memiliki rasionalitasnya sendiri, ketika ada disparitas harga, ada insentif ekonomi, maka pelaku ekonomi akan bergerak. “Rule-nya adalah pemerintah harus mengatur ulang, membereskan persaingan agar sehat, menciptakan keterbukaan, tidak ada diskrepansi data, tidak ada monopoli,” ujarnya.
Jika sektor hulu ini dibereskan, maka ketika terjadi disparitas harga, tidak akan memicu terjadinya rent seeker (pencari rente). Yang terjadi, saat ini, jika suatu daerah panen, pedagang dari daerah lain akan berani membeli beras dari daerah yang panen. “Misal panen di Jawa Barat, pedagang Jawa Timur berani beli ke Jawa Barat walau cost ekonominya tinggi, kenapa? karena ada privilege, kalau mampu menguasai stok maka akan menjadi price maker (penentu harga),” jelas Eny.
Kalau ini tidak dibereskan, maka mafia pangan akan bermunculan seperti saat ini, sehingga pemerintah sulit mengendalikan harga pangan. Dalam konteks ini, kata Eny, sebenarnya pemerintah sudah diamanatkan UU Pangan untuk membentuk Badan Ketahanan Pangan yang tugasnya mengkoordinasikan semua stakeholder pangan dari hulu ke hilir.
Seharusnya, kata Eny, dari pada membentuk lembaga baru, lebih baik pemerintah membenahi Bulog. “Kenapa tidak Bulog saja yang di-upgrade menjalankan fungsi badan ketahanan pangan, tinggal kelembagaan direstrukturisasi, tata ulang. Selama yang mengurus sektor strategis tidak sinergi, tidak akan menyelesaikan masalah pangan, akan tambal sulam terus,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi