Indonesia Diminta Agresif Terapkan HAM di Sektor Bisnis

Peta negara-negara anggota Trans Pacific Partnership. Jokowi dinilai khianati konsitusi bergabung di TPP (dok. humanosphere.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Pemerintah Indonesia diminta lebih aktif dalam pertemuan ketiga Open-Ended Intergovernmental Working Group on TNCs snd Other Bussines Enterprises with Respect and Human Right di Jenewa yang dimulai hari ini, Senin (23/10) sampai Jumat (27/10). “Pertemuan ini sangat penting bagi dunia, terlebih Indonesia, dimana aktivitas bisnis khususnya perusahaan transnasional menujukkan relasi yang sangat jelas dengan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Budi Afandi Koordinator Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com.

Lebih lanjut Budi menjelaskan, pertemuan ketiga ini sangat fundamental karena akan membicarakan substansi dari treaty. “Meski proses ini masih panjang, namun sudah menjadi keharusan bagi pemerintah Indoneia unuk aktif sedari awal,” tegas Budi.

Pembukaan acara dilakukan di kantor Komisi Hak Asasi Manusia di PBB dan diikuti oleh perwakilan sejumlah negara serta organisasi masyarakat sipil dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebelumnya, dalam beberapa pertemuan dengan CSO, pihak Kementerian Luar Negeri Indoneia sebagai leading sector dalam hal ini mengatakan, Indonesia mensupport dibentuknya binding treaty dimaksud, namun berusaha untuk realistik, karena tidak ingin mengganggu investasi dan perdagangan.

Budi melanjutkan, dalam konteks bisnis, Pemerintah Indonesia terus membicarakan pentingnya investasi dan perdagangan global. “Kita melihat bagaimana pemerintah ingin melakukan deregulasi untuk kepentingan dan kemudahan investasi dan perdagangan. Dan apakah mereka membicarakan soal hak asasi manusia dalam kaitannya dengan itu. Tidak sama sekali,” kata Budi.

Padahal, kata Budi, data-data menunjukkan banyaknya pelanggaran HAM yang berkaitan dengan bisnis. Sementara itu, korban atau komunitas terdampak tidak memiliki ruang yang menjamin hak mereka untuk mendapatkan pemulihan atau dapat membawa persoalan ke meja hukum.

“Sejauh ini, berbagai ruang hanya memberikan solusi yang tidak mengikat, atau tidak cukup kuat untuk menekan perusahaan dalam semua rantai produksinya. Karenanya binding treaty ini sangat penting untuk menegaskan bahwa segala kebijakan bisnis berada di bawah kepentingan hak asasi manusia, harus ada analisas hak asasi manusia dan mekanisme complain yang memberi ruang bagi korban terdampak untuk menempuh jalur hukum,” pungkas Budi. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.