Indonesia Harus Tinggalkan Energi Batubara

Aktivis Greenpeace melakukan aksi membentangkan peringatan bahaya air beracun di bekas pengerukan tambang batubara, Asam-Asam, Kalimantan Selatan. (dok. greenpeace)
Aktivis Greenpeace melakukan aksi membentangkan peringatan bahaya air beracun di bekas pengerukan tambang batubara, Asam-Asam, Kalimantan Selatan. (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Harga batubara terus menurun hingga mencapai 52% sejak 2011. Bahkan pengumuman terbaru dari China yang akan menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap selama tiga tahun, serta larangan Presiden Obama untuk menyewakan tanah di negara federal bagi batu bara—termasuk juga langkah-langkah proteksionis—telah gagal untuk mengatrol harga.

Semua pertanda yang diberikan China menunjukan bahwa negara tersebut telah berbalik arah dari batu bara. Konsumsi batu bara bagi pembangkit listrik di China telah merosot hingga 3,5% pada 2015, meski demikian semakin banyak pembangkit listrik bertenaga batu bara dibangun di negara tersebut. Berapa lama lagi hingga China akhirnya menjadi negara pengekspor batu bara, membanjiri pasar dan mendorong kejatuhan harga lebih dalam lagi?

Dengan alasan itu, maka Greenpeace meminta pemerintah Indonesia untuk segera meninggalkan energi batubara. “Dengan pasar yang menyusut, kejatuhan harga, dan potensi peningkatan pasokan batubara dari China, Indonesia sedang mengejar kebijakan yang tidak masuk akal untuk terus menambang dan mengekspor batubara ke dunia yang tak lagi membutuhkan batubara,” tegas Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto, lewat siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (25/1).

Terlebih, negara Asia Tenggara seperti Vietnam juga sudah mengambil langkah maju dengan beralih dari batubara ke energi terbarukan. Aksi Vietnam, ini akan semakin menurunkan lebih jauh pasar batubara di Asia.

Pada peralihan dramatis ini, Vietnam mengatakan akan merevisi kembali Rencana Pengembangan Energinya dengan menghentikan pembangunan pembangkit batubara baru dan beralih ke sumber matahari dan angin, serta energi efisiensi. Melihat langkah Vietnam, Greenpeace juga menyerukan Indonesia untuk mengambil peran, dan bergerak ke arah yang sama.

Rencana Vietnam untuk meningkatkan penggunaan batu bara pada 2020 terancam gagal. Rencana terbaru pengembangan sektor energi yang dikenal sebagai PDP7 saat ini sedang ditulis ulang atas permintaan Kementerian Industri dan Perdagangan yang percaya bahwa harga investasi batubara terlalu tinggi. Sebab itu perlu adanya pengalihan fokus ke pembangunan pembangkit listrik yang berkelanjutan.

Mengutip dari perkataan perdana menteri Vietnam jelas tidak ada kesempatan untuk batubara. Laporan sebuah wawancara mengatakan: “Ada kebutuhan untuk memonitor isu-isu lingkungan, terutama dalam pemantauan ketat dari pembangkit listrik tenaga batubara, untuk meninjau rencana pengembangan semua pembangkit listrik tenaga batu bara dan menghentikan setiap pengembangan listrik tenaga batubara baru, untuk mulai menggantikan batubara dengan gas alam; untuk bertanggung jawab melaksanakan semua komitmen internasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca; untuk mempercepat investasi dalam energi terbarukan, termasuk mekanisme pasar bangunan, kebijakan mendorong dan inisiatif, dan menarik investasi untuk energi surya dan angin“.

“Tidak ada alasan pembenar bagi indonesia untuk terus menerbitkan izin tambang batu bara. Negara ini perlu mencontoh China dan Amerika serikat dalam hal menetapkan moratorium tambang batu bara baru, agar dapat menawarkan masa depan bebas polusi bagi masayarakat Indonesia,” tegas Arif.

Sampai saat ini, Vietnam adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara dengan rencana yang paling ambisius untuk pembangkit listrik tenaga batu barabaru dari Indonesia. Saatnya memikirkan untuk menekan pasar batubara lebih jauh lagi. Permintaan batubara China telah jatuh selama lebih dari dua tahun, sebuah tren yang akan terus berlanjut.

Permintaan India untuk batubara impor juga jatuh dan tenaga surya menjadi lebih murah daripada pembangkit batubara baru di negara ini. “Ini adalah saat yang tepat bagi Indonesia meninggalkan visi membangun negara pada sumber energi fosil, yang sedang ramai ditolak oleh pemerintah berbagai negara dan pasar,” kata Arif Fiyanto.

India yang dilihat sebagai pasar besar berikutnya bagi produsen batu bara juga memberikan berita buruk. Menteri Energi India Piyush Goyal pada Selasa (19/1) mengungkapkan, tarif listrik bertenaga surya telah merosot jauh di bawah tarif listrik bertenaga uap batu bara.

“Kami bergerak cepat guna mewujudkan visi energi bersih dari Perdana Menteri Narendra Modi,” ujarnya melalui akun twitter.

Kedua negara ekonomi berkembang (emerging economies) terbesar ini jelas bergerak menjauhi pembangunan berbasis batu bara. “Tetangga dan mitra dagang kita telah menunjukan bahwa batu bara tak diperlukan untuk mengembangkan ekonomi. Jika pemerintah terus bertekuk lutut atas kepentingan batu bara, negara yang indah ini akan berubah menjadi gurun beracun yang menghasilkan jauh lebih sedikit sumber daya alam, juga menarik lebih sedikit pembeli,” pungkas Arif. (*)

Facebook Comments
One Comment

Add a Comment

Your email address will not be published.