Indonesia-Jepang Didesak Hentikan Pembangunan PLTU Batubara di Batang

Aksi menolak PLTU Batang (dok. greenpeace)
Aksi menolak PLTU Batang (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Pemerintah Indonesia dan Jepang, termasuk beberapa perusahaan swasta Jepang terkait didesak untuk menghentikan megaproyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang. Hari ini, Jumat (20/3) organisasi lingkungan hidup dari Jepang dan Indonesia bersama dengan masyarakat yang terkena dampak, menyerukan desakan kepada pemerintah dan JBIC untuk membatalkan rencana pembangunan pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara itu.

Friends of the Earth Jepang, KIKO Network, JACSES (Japan Center for a Sustainable Environment and Society), NINDJA (Network for Indonesian Democracy, Japan) dan Greenpeace Indonesia bergabung dengan masyarakat untuk menyuarakan kepedulian mereka kepada pemerintah Jepang. Mereka juga mendesakkan hal yang sama kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Itochu dan J-Power.

“Masyarakat sipil Jepang berdiri bahu-membahu dalam solidaritas dengan rakyat Indonesia, yang akan terkena proyek batubara kotor ini. Kami tidak ingin uang publik Jepang digunakan untuk polusi dan membayar pelanggaran hak asasi manusia, tidak peduli di manapun itu”, kata Hozue Hatae dari Friends of the Earth Jepang dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (20/3).

Sejauh ini, pemerintah Jepang dan JBIC telah berjanji untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik batubara di Batang, yang akan menghancurkan lingkungan serta nelayan dan mata pencaharian petani di Batang, Jawa Tengah. Megaproyek batubara Batang telah menciptakan beberapa masalah di daerah yang diusulkan.

Mulai dari intimidasi, pelanggaran hak asasi manusia, hingga kriminalisasi pengunjuk rasa untuk pembebasan lahan ilegal, proyek ini penuh dengan pelanggaran. Greenpeace Indonesia menyajikan rincian pelanggaran terkini saat konferensi pers.

Pengesahan keuangan megaproyek batubara ini telah tertunda selama tiga kali selama kurun 2012-2014, karena penolakan yang kuat dari masyarakat dan pemilik tanah lokal yang berani menolak untuk menjual tanah mereka kepada perusahaan yang terlibat, meskipun mereka mendapatkan ancaman, kekerasan, dan intimidasi. Baru-baru ini, Sofyan Basir Direktur PLN, perusahaan listrik milik negara di Indonesia, mengunjungi Batang dan meminta pemilik tanah yang tersisa untuk menjual tanah mereka.

Direktur Basir bahkan mengunjungi rumah salah satu pemilik tanah, Cayadi. Cayadi jelas menolak tawaran direktur untuk membeli tanahnya.

Saat ini, sekitar 10% dari 226 hektare lahan yang dibutuhkan untuk PLTU tetap tidak terjual dan belum terselesaikan. Para pemilik tanah menolak untuk menjual tanah mereka karena mereka tidak ingin kehilangan mata pencaharian mereka.

“Sekali lagi, kita ulangi bahwa kami menolak PLTU Batang yang akan dibangun di desa kami, Presiden Jokowi harus mendengarkan suara kami karena kami adalah pendukung kuat beliau selama pemilihan presiden. Hampir 100% masyarakat Batang memilih dia, karena kami percaya bahwa ia akan mendengarkan kita,” tegas Roidi, seorang tokoh masyarakat Batang.

Dia menegaskan, masyarakat Batang percaya bahwa Jokowi akan mempertimbangkan ketahanan pangan sebagai prioritas utamanya. “Tanah dan laut kami adalah salah satu yang paling subur dan produktif di Pulau Jawa. Jadi, lahan ini tidak semestinya untuk energi kotor, dan bila hal itu akan terjadi maka ini tidak sesuai dengan visi Jokowi pada kedaulatan pangan,” pungkas Roidi.

Area yang diusulkan untuk Pembangkit Listrik Batubara terletak di atas sawah yang subur dan lahan perikanan yang sangat produktif bagi petani dan nelayan di daerah sekitar. Masyarakat khawatir bahwa mata pencaharian mereka akan hancur jika PLTU tetap dibangun.

“Pemerintah Indonesia, PLN, dan perusahaan harus menghentikan intimidasi dan represi terhadap masyarakat lokal. Hal ini jelas bahwa masyarakat sangat menentang PLTU Batang yang dibangun di atas tanah mereka. Pemerintah harus mencoba mendengarkan suara rakyat sebelum berpihak pada perusahaan,” kata Team Leader Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto.

Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia pernah mengunjungi Batang, dan mendukung suara masyarakat dan menyatakan kepedulian terhadap keluhan masyarakat. Komisi merekomendasikan kepada Gubernur Jawa Tengah dan Pemerintah Pusat untuk membatalkan proyek karena pelanggaran hak asasi manusia dan masalah-masalah sosial di masyarakat.

Pada 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengunjungi Batang dan menaruh kepedulian yang besar tentang situasi, merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membatalkan megaproyek batubara tersebut.

Arif mengatakan, Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang berlimpah, dari panas bumi, angin, tenaga surya, hingga mikrohidro. Karena itu, Indonesia harus memilih yang lebih baik, lebih pintar, lebih hijau demi pembangunan-pembangunan yang berkelanjutan dan didukung oleh energi terbarukan yang bersih.

“Indonesia harus menghentikan kecanduannya terhadap batubara kotor, bukan hanya karena batubara adalah kontributor terbesar tunggal perubahan iklim, tetapi juga karena batubara lebih berbahaya untuk orang-orang Indonesia,” pungkas Arif. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.