Inpres Moratorium Sawit, Perlu Dukungan dan Pengawalan Para Pihak
|
Jakarta, Villagerspost.com – Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau lebih dikenal dengan nama Inpres Moratorium Sawit bisa menjadi langkah awal yang strategis untuk menyelesaikan silang-sengkarut perizinan perkebunan sawit. Inpres tersebut juga menjadi pintu masuk penyelesaian masalah tumpang tindih dengan kawasan hutan dan penyelamatan hutan alam yang tersisa di kawasan hutan.
Hanya saja, menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya, Inpres Moratorium Sawit harus didukung dan dikawal para pihak. “Inpres tersebut bisa berhasil dengan catatan para pejabat penerima Instruksi konsisten menjalankan Instruksi tersebut dan ada kepemimpinan politik yang kuat dari Presiden,” kata Teguh Surya, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (22/9) .
Teguh menegaskan, dukungan dan pengawalan para pihak sangat dibutuhkan mengingat seluruh proses evaluasi perizinan dan berbagai tugas lain yang dimandatkan Presiden harus selesai dalam waktu 3 tahun. “Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah, khususnya 8 pejabat yang menerima instruksi, harus dapat bekerja cepat bersama para pemangku kepentingan lainnya dengan mengedepankan keterbukaan data dan informasi perizinan,” ujarnya.
Madani menilai, dalam Inpres yang telah ditunggu selama lebih dari dua tahun ini, inisiatif baik pemerintah terlihat dalam beberapa hal. Di antaranya adalah ditundanya pelepasan/tukar menukar kawasan hutan untuk permohonan perkebunan kelapa sawit, dilakukannya evaluasi terhadap SK pelepasan/tukar menukar kawasan hutan yang telah diberikan untuk perkebunan kelapa sawit, serta penindakan hukum terhadap perkebunan kelapa sawit ilegal yang beroperasi di kawasan hutan.
Bahkan dalam Inpres tersebut juga diatur,kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila memenuhi kriteria. “Inpres ini memperlihatkan inisiatif baik untuk lebih mengutamakan peningkatan produktivitas lahan ketimbang berekspansi ke kawasan hutan,” ujar Direktur Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri.
Dalam Inpres tersebut, Presiden juga memandatkan evaluasi atas pelaksanaan ketentuan alokasi 20% untuk perkebunan rakyat dan percepatan penerbitan hak atas tanah untuk kebun sawit rakyat. Meskipun demikian, ketentuan alokasi 20% ini perlu lebih diperjelas karena saat ini para pemangku kepentingan masih memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang hal ini, juga guna menghindari ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar dengan mengatasnamakan kebun rakyat.
Madani menegaskan, implementasi Inpres ini akan menghadapi tantangan berat yang harus dijaga bersama. Yang pertama adalah momentum Pilpres 2019; dikhawatirkan 8 pejabat negara yang menerima Instruksi tidak fokus dalam melaksanakan Inpres karena terlibat dalam politik elektoral dan dukung-mendukung Capres/ Cawapres. Pasca-Pilpres, besar kemungkinan terjadi perubahan formasi kabinet dan instruksi ini berisiko tidak ditransformasikan secara utuh ke dalam rencana kerja pemerintahan yang baru atau bahkan tidak lagi menjadi prioritas.
Kedua, hasil kebijakan satu peta belum jelas dan bahkan terkesan semakin tertutup, baik dari segi proses maupun terkait kewenangan mengakses data. Pembatasan akses ini tertuang dalam Kepres No. 20 Tahun 2018 tentang kewenangan akses untuk berbagi data dan informasi geospasial melalui jaringan informasi geospasial nasional dalam kegiatan percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.
Ketiga, Presiden perlu memastikan Perpres ISPO yang akan segera diterbitkan memiliki standar (Prinsip dan Kriteria) yang kuat dan meliputi aspek-aspek berikut: kepatuhan hukum; manajemen perkebunan yang baik; perlindungan hutan alam, gambut dan lingkungan; tanggung jawab terhadap pekerja; tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; perbaikan yang berkelanjutan; ketelusuran dan transparansi; serta penghargaan terhadap HAM.
Keempat, Tim Kerja yang akan dibentuk harus independen dan berisi keterwakilan masyarakat sipil dan masyarakat adat, serta harus bisa dipastikan bebas dari intervensi korporasi sawit untuk menghindari risiko korupsi, transaksi politik, dan pemutihan pelanggaran yang dilakukan korporasi maupun pemberi izin. Transparansi proses, data, dan informasi perizinan menjadi penting dan merupakan benteng terakhir bagi keberhasilan Inpres.
Kelima, pemerintah perlu menetapkan indikator yang akan dijadikan tolak ukur keberhasilan kebijakan moratorium sawit dalam tiga tahun ke depan, berapa luasan penundaan izin atau evaluasi terhadap izin pelepasan/tukar menukar kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit, baik yang belum dikerjakan, dibangun, yang teridentifikasi tidak sesuai dengan tujuan pelepasan/tukar menukar dan dipindahtangankan, maupun terkait pelaksanaan pembangunan hutan yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest/HCVF).
Mengingat besarnya tantangan dan pentingnya kebijakan ini, Madani kembali menegaskan pentingnya pengawalan dari berbagai pihak untuk menyukseskan pelaksanaan Inpres ini, termasuk pemantauan internal di dalam pemerintah dan akomodasi peran serta masyarakat sipil.
“Moratorium sawit ini barulah langkah awal. Tidak ada jalan lain kecuali bekerja sama bahu-membahu dalam memperbaiki tata kelola kelapa sawit kita demi terjaganya hutan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat,” tutup Teguh Surya.
Editor: M. Agung Riyadi