JBIC Setujui Pendanaan PLTU Batang, Warga dan Petani Terpukul
|
Jakarta, Villagerspost.com – Para petani dan warga yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng Ponowareng, dan Roban) dan pada aktivis lingkungan yang selama ini menentang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara Batang, mengalami sebuah pukulan hebat. Hari ini, Jumat (3/6) Japan Bank for International Cooperation (JBIC) mendadak mengumumkan mengumumkan perjanjian kredit sebesar US$2,05 juta dengan PT Bhimasena Power Indonesia.
Sikap JBIC ini dinilai telah mengabaikan desakan yang dilakukan 230 organisasi lingkungan dunia yang didukung kalangan akedemisi yang meminta JBIC membatalkan rencana pendanaan untuk PLTU Batang. Bahkan desakan itu juga sudah disampaikan sejak beberapa waktu lalu kepada Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Para aktivis lingkungan dunia menyuarakan desakan itu lewat sebuah aksi di depan kantor Kedutaan Besar Jepang di Washington D, Amerika Serikat pada tanggal 31 Maret 2016 yang lalu. Pada hari yang sama, hal serupa juga dilakukan di halaman kantor JBIC di Tokyo, Jepang. Sejumlah aktivis menyampaikan surat protes secara langsung kepada pimpinan JBIC.
Sayangnya, JBIC malah mengambil sikap sebaliknya. “Ini adalah pukulan besar bagi petani lokal dan nelayan Batang yang telah berjuang dengan gagah berani selama hampir lima tahun untuk melindungi ladang dan wilayah perikanan tangkap mereka dari rencana ini,” kata Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto, dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Jumat (3/6).
(Baca juga: Dunia Menuntut Pembatalan PLTU Batang)
Dia mengatakan, PLTU Batang tidak hanya merampas akses petani Batang ke ladang mereka, tetapi juga telah menjadi ancaman yang sangat nyata untuk kesehatan masyarakat sekitar. Klaim JBIC (Japan Bank for International Cooperation) bahwa PLTU Batang menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, kata Arif, adalah penipuan.
“PLTU Batang yang melepas SO2 (Sulfur dioksida) dan NOx (Nitrogen oksida) ke udara, serta berkontribusi besar terhadap perubahan iklim, tidak bisa ramah lingkungan,” tegasnya.
Untuk diketahui, Sulfur dioksida adalah senyawa gas atau cairan yang tidak berwarna, dengan bau yang menyengat dan mencekik leher. Zat ini terbentuk terbentuk sebagai hasil dari pembakaran bahan bakar fosil baik minyak bumi maupun batubara.
Dalam jangka pendek, paparan So2 akan membuat seseorang menderita sesak napas dan sensai terbakar di hidung dan tenggorokan. Sementara jika terpapar dalam jangka panjang, akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan memperberat penyakit jantung.
Sama seperti So2 NOx juga dihasilkan dari pembakaran. Paru-paru yang terkontaminasi oleh gas NOx akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat mengakibatkan kematian.
Sebuah laporan Greenpeace yang dikeluarkan pada 2014 bertajuk: “Kita, Batubara, dan Polusi Udara” mengungkapkan, emisi udara beracun dari PLTU Batang akan membunuh 800 orang per tahun, atau sekitar 30.000 orang selama masa operasional yang diharapkan.
“Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim, bulan lalu menyoroti bahaya perkembangan batubara di Asia. Dia mengatakan bahwa batubara sama dengan bencana bagi planet ini. Persetujuan JBIC untuk kredit ini membawa kita satu langkah lebih lebih dekat menuju bencana itu,” kata Arif.
Dia menegaskan, masyarakat dunia khususnya para warga Batang kecewa bahwa JBIC percaya mendanai proyek tersebut sama dengan membantu pembangunan Indonesia. “Padahal dana tersebut akan jauh lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun potensi energi terbarukan yang sangat besar di Indonesia, yang akan memberikan listrik bersih lagi aman bagi masyarakat saat ini, serta bagi generasi mendatang,” ujarnya.
Pada Sabtu pagi (4/6), masyarakat di wilayah Batang akan mengadakan protes di dalam dan di permukaan laut, sebagai wujud penolakan terhadap operasi pengeboran yang dilakukan oleh perusahaan terkait proyek Batang. Lebih dari 100 kapal nelayan akan bergabung bersama petani lokal pada aksi tersebut.
Masyarakat juga telah mempertahankan “tenda perlawanan” selama beberapa minggu, yang berdiri tak jauh dari pagar yang menutup akses ke lahan pertanian mereka. “Pengumuman ini sangat mengejutkan masayarakat Batang. JBIC dan pemerintah Indonesia tidak pernah mendengarkan suara kami. Presiden Jokowi gagal menepati janji untuk mementingkan masyarakat dari pada perusahaan,” kata Cahyadi, salah seorang petani dari Karanggeneng.
Abdul Hakim, salah satu pemimpin nelayan, mengatakan bahwa PLTU Batang tidak hanya merampas ladang milik masyarakat, tetapi juga akan menghancurkan lahan perikanan yang sangat produktif di perairan sekitar Batang. “Kami akan terus menentang proyek ini, sampai suara kami didengar oleh pemerintah kita,” katanya. (*)
Ikuti informasi terkait PLTU Batang >> di sini <<