KAA Harus Kedepankan Aspek Keadilan Dalam Pengelolaan Laut
|
Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia memiliki kontribusi besar dalam membalik ketidakadilan tata kelola laut dunia. Salah satu yang memuluskan langkah diplomasi tersebut adanya “Bandung Spirit” yang lahir dari Konferensi Asia-Afrika 60 tahun silam.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, semua mengetahui sejak awal, bahwa klaim sepihak kedaulatan Indonesia terhadap perairan di antara pulau-pulau melalui Deklarasi Djuanda 1957 mendapati perlawanan dari banyak negara. “Khususnya dari mereka yang menguasai armada dan teknologi laut pada masa itu,” kata Riza kepada Villagerspost.com, Senin (20/4).
Baru pada tahun 1982 Konsepsi Negara Kepulauan diakomodir ke dalam perubahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982. Riza menjelaskan, boleh jadi tingkat kepentingan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap laut berbeda-beda kala itu.
“Namun, atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kerja keras dan cerdas dari diplomat Indonesia dan Afrika yang mengedepankan ‘Bandung Spirit’ telah mewujudkan cita-cita pendiri bangsa mewujudkan Indonesia berdaulat atas laut di antara pulau-pulau,” ujar Riza.
Hasilnya masih terasa hingga hari ini bagi Indonesia dan warga dunia. Jika sebelum 1982 sekitar 70 persen sumber daya ikan dunia dikuasai oleh negara-negara Utara, karena memiliki armada dan modal besar, berangsur setelah 1982 hingga kini, penguasaan sekitar 80 persen kekayaan sumberdaya ikan bergeser ke Selatan, termasuk Indonesia.
Kini, 60 thn KAA, para pemimpin negara-negara di Asia dan Afrika dituntut memastikan tujuan akhir dari pengelolaan laut adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan kepada warga bangsa. Maka, kerjasama Selatan-Selatan harus mempercepat terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarga nelayan skala kecil dan tradisional.
“Praktik perbudakan di sektor perikanan harus di akhiri. Begitupun pencurian ikan harus diletakkan sebagai musuh bersama dengan menerapkan prinsip ETO (Extra Territorial Obligation) dimana negara asal pelaku pencuri ikan harus juga berperan aktif memberikan hukuman kepada pelaku pencuri ikan sesuai UU berlaku di negara asal maupun internasional demi tegaknya keadilan global,” tegas Riza.
Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan, negara-negara peserta KAA menghadapi tantangan yang sama di sektor pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Tantangan itu diantaranya adalah minimnya konektivias hulu ke hilir sehingga masyarakat pelaku perikanan skala kecil kurang mendapatkan kesejahteraan.
Negara-negara Asia-Afrika, kata Halim, juga menghadapi masalah tingginya angka pencurian ikan, termasuk Indonesia. Karena itu, dia meminta, momen KAA ini dimanfaatkan pemerintah untuk menegaskan sikapnya dalam memerangi pencurian ikan.
“Pemerintah juga bisa menagih komitmen serupa hitam di atas putih dari negara-negara peserta KAA terkait masalah ini,” ujarnya.
Selain masalah perikanan, Halim juga menyoroti masalah pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang justru banyak dimanfaatkan oleh pemodal asing. Ujungnya, yang terjadi adalah eksploitasi dan perusakan alam seperti proyek reklamasi dan pertambangan.
“Upaya yang bisa dilakukan adalah mencapai kesepahaman bersama terkait penegakan hukum, penghentian perampasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan mengambil langkah bersama menyuarakan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir,” katanya.
Untuk itu, ia juga menegaskan pentingnya kerja sama di bidang pengelolaan dan perdagangan sumber daya kelautan dan perikanan, khususnya memperkuat pelaku perikanan skala kecil. (*)