Kaum Urban Diminta Bijak Konsumsi Pangan dan Energi
|

Jakarta, Villagerspost.com – WWF meminta agar kaum urban bersikap bijak dalam mengkonsumsi pangan dan energi. Laporan terbaru yang dirilis WWF bertajuk “Living Planet Report 2016” (LPR) mengungkapkan, konsumsi pangan dan energi terkonsentrasi di wilayah perkotaan yang diindikasikan dari tingginya emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas perkotaan, yaitu sebesar 70%. Tidak mengherankan jika mengingat 54% populasi dunia saat ini hidup di kota dan 80% daya beli di tingkat global terkonsentrasi di perkotaan.
“Hal yang sering terlupakan oleh kita sebagai konsumen yang hidup di perkotaan dengan segala kemudahannya adalah besarnya ketergantungan kita terhadap alam. Satu hal yang perlu selalu kita ingat bahwa kita hanya memiliki satu planet Bumi dengan kekayaan alamnya yang terbatas,” kata Plt CEO WWF-Indonesia Benja Mambai, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (22/11).
Pola konsumsi yang tak bijak menurut laporan WWF juga berdampak pada keanekaragaman hayati. Laporan itu yang memaparkan status terbaru mengenai keanekaragaman hayati di atas bumi itu mengungkapkan, Living Planet Index (LPI) masih menunjukkan tren penurunan tingkat keanekaragaman hayati dunia, seperti menurunnya jumlah populasi sejumlah spesies vertebrata sebesar 58 persen dalam kurun waktu kurang lebih 40 tahun sejak tahun 1970 hingga 2012. LPI adalah indeks ilmiah yang digunakan dalam LPR untuk mengukur tingkat keanekaragaman hayati.
Hasil ini menunjukkan tren penurunan yang berlanjut dari laporan yang sama sebelumnya (LPR 2014), dan jika terus berlanjut LPI menunjukkan penurunan jumlah populasi hewan vertebrata yang lebih banyak di tahun 2020, yaitu sebesar 67% dari tahun 1970. Ancaman terbesar yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi ini adalah hilangnya habitat spesies-spesies tersebut akibat praktik pertanian yang tidak berkelanjutan dan tidak bertanggung jawab, penebangan hutan, pembangunan infrastruktur untuk transportasi dan pemukiman, serta aktivitas pertambangan untuk produksi energi dan mineral.
Seluruh aktivitas tersebut berakar pada aktivitas konsumsi manusia yang menghasilkan jejak ekologi. LPR 2016 merinci jejak ekologi konsumsi manusia berdasarkan enam kategori kebutuhan, yaitu kebutuhan atas lahan pertanian, lahan ternak, penangkapan ikan, hasil hutan, lahan pembangunan dan penyerapan karbon. Dari keenam kategori tersebut, terlihat bahwa jejak ekologi manusia didominasi oleh kebutuhan terhadap pangan dan energi.
Dalam kesimpulannya, LPR 2016 menyebutkan perubahan menuju Bumi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai dengan melakukan perubahan mendasar pada sistem pangan dan energi, dua sistem yang paling mempengaruhi kondisi Bumi saat ini. Salah satu perubahan mendasar yang dimaksud menyangkut perilaku konsumsi dan gaya hidup manusia yang sangat berpengaruh terhadap struktur produksi dan distribusi yang dibentuk untuk dua komoditas tersebut.
Karena itu, secara khusus, LPR 2016 memberikan perhatian pada sistem pangan dan energi sebagai dua sistem yang paling mempengaruhi kondisi Bumi saat ini. Yang menjadi fokus perhatian adalah isu pangan dan energi di tingkat perkotaan, khususnya dari aspek konsumsi yang esensial mempengaruhi jalannya sistem pangan dan energi yang berlaku di dunia.
Social Development Strategy Leader WWF-Indonesia mengatakan, perubahan gaya konsumsi dapat dimulai dengan berhemat dan menjadi konsumen yang lebih kritis terhadap berbagai produk yang dikonsumsi sehari-hari. Konsumen perlu pro-aktif mencari tahu asal-usul produk sebelum mengkonsumsinya, untuk menghindari produk-produk yang diproduksi dengan cara-cara yang merusak lingkungan, seperti pembakaran hutan, penebangan ilegal, penangkapan ikan dengan bom atau sianida serta penggunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan manusia.
“Sistem pangan dunia yang berlaku saat ini memungkinkan para pelaku industri dengan penguasaan besar terhadap sumber daya alam dan kapital mengabaikan faktor lingkungan dan sosial dalam pola produksi dan distribusi pangan sehingga mengakibatkan peningkatan jejak ekologi yang hampir tidak terkendali serta terjadinya ketimpangan ekonomi,” ujar Cristina Eghenter.
Memilih produk berekolabel adalah salah satu cara yang paling efektif dan efisien untuk menjamin produk yang dikonsumsi memiliki dampak minimum terhadap kelestarian lingkungan. Konsumen juga perlu menggunakan kekuatannya (consumer power) untuk meminta produsen dan pedagang (ritel) untuk menyediakan produk berekolabel, produk-produk yang tidak berkontribusi pada perusakan lingkungan, termasuk menyediakan informasi yang jelas dan dapat diandalkan mengenai asal usul produk dan gaya konsumsi yang ramah lingkungan.
Di sektor transportasi, jejak ekologi penduduk urban sangat signifikan seiring dengan peningkatan jumlah penggunaan kendaraan pribadi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2012 mencatat penggunaan energi di sektor transportasi sebesar 20% dari konsumsi energi nasional, yang mana 97% nya merupakan transportasi menggunakan bahan bakar fosil.
Di tahun yang sama sektor transportasi menduduki peringkat ketiga penghasil gas rumah kaca (GRK) dari keseluruhan emisi sektor energi nasional, yaitu sebesar 28%. Di antara seluruh moda transportasi, moda transportasi darat mendominasi pangsa penghasil emisi GRK, yaitu sebesar 91% dari total emisi di sektor transportasi.
“Kehidupan urban yang sarat dengan teknologi dan informasi menghadirkan situasi yang amat kondusif bagi konsumen untuk membuat perubahan gaya hidup ini. Terlebih dominasi kelas menengah yang kuat di kawasan urban pada umumnya menjadikan tantangan mengubah gaya konsumsi ini bukan sesuatu yang mustahil,” pungkas Cristina. (*)