Ke Istana Negara, Perwakilan Petani Kopra Kabupaten Asahan, Perjuangkan Perbaikan Harga
|
Jakarta, Villagerspost.com – Perjuangan para petani kopra se-Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, tidak hanya berhenti pada pembentukan Asosiasi Petani Kelapa/Kopra Se-Kabupaten Asahan semata. Hari ini, Selasa (15/1), sembilan orang pengurus asosiasi, mewakili para petani kopra Asahan, mendatangi Istana Negara, Jakarta, untuk mengadukan anjloknya harga kopra sekaligus memperjuangkan perbaikan harga kopra, kepada Presiden Joko Widodo.
Perwakilan para petani tersebut, kemudian diterima oleh Anggota Kantor Staf Presiden, Deputi V Bidang Agraria Iwan Nurdin. Di hadapan anggota KSP, perwakilan para petani kopra memaparkan berbagai persoalan yang dihadapi petani, termasuk dugaan adanya permainan yang menjadi penyebab jatuhnya harga kopra. Mereka juga memaparkan potensi pengelolaan kelapa yang bisa dikembangkan dan berharap ada perhatian pemerintah terhadap petani kelapa/kopra.
Sekretaris Asosiasi Petani Kelapa/Kopra se-Kabupaten Asahan Adlin, dalam kesempatan itu mengatakan, potensi pertanian kelapa di Asahan sebenarnya sangat besar untuk bisa mendongkrak kesejahteraan masyarakat. Dari 25 kecamatan yang ada di kabupaten tersebut, terdapat enam kecamatan dan 39 desa yang sangat potensial, di antaranya adalah di Desa Sei Kepayang, Sei Kepayang Kanan, Desa Perbangunan, Desa Sei Pasir, dan Desa Sei Tempurung. Selain petani, dari 39 desa itu juga terdapat 204 pedagang pengumpul kopra atau “toke kelapa”.
Sayangnya, potensi yang besar ini, kata Adlin, seperti tidak berdaya saat berhadapan dengan perusahaan pengilangan minyak dan tepung kopra. “Di Asahan ada lima pabrik pengilangan minyak kopra dan pembuatan tepung kopra, kami menduga ada semacam kartel di antara mereka, karena antara satu dan lainnya tidak pernah ada kesesuaian harga, antara pabrik yang satu dan lainnya ada perbedaan antara Rp100-Rp300 per kilogram,” ujarnya.
Pabrik-pabrik ini, kata Adlin, seolah saling sepakat untuk memainkan harga sehingga harga kopra jatuh dari semula di tahun 2017 mencapai Rp7.000 per kilogram, hanya menjadi Rp2.500 per kilogram. “Dari 2017 harga masih 7000 rupiah per kilo, lalu sebelum Juli 2018, harga anjlok ke 3000 rupiah per kilo, lalu setelah Juli 2018 harga anjlok lagi ke 2.500 rupiah per kilo,” keluhnya.
Karena itu, kata Adlin, masyarakat Asahan menginginkan pemerintah turun tangan untuk menjaga harga kopra agar stabil. Masyarakat sendiri, kata Adlin, sebenarnya menyadari banyak potensi yang bisa digali dari kelapa, selain untuk dibuat minyak dan tepung bahan baku roti. “Ada sabutnya, tempurung, lidi dan sebagainya, hanya saja, pengetahuan masyarakat terbatas bagaimana mengolahnya. Tempurung misalnya, selama ini hanya dibuat arang, padahal di Jawa kan ada yang dibuat kerajinan yang harganya juga bisa tinggi,” papar Adlin.
Karena itu, selain meminta pemerintah turun tangan soal harga, dia juga meminta agar pemerintah bisa menyediakan dana bagi pelatihan dan bimbingan bagi petani agar bisa mengolah potensi kelapa yang lain. “Selama ini kami merasa memang petani kopra ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah,” ujarnya.
Namun, kata dia, yang terpenting saat ini adalah masalah harga. “Kalau harga tetap seperti ini, banyak yang bisa putus sekolah, ekonomi masyarakat terganggu, kredit masyarakat juga banyak yang macet,” kata Adlin.
Dengan harga saat ini, kata dia, dengan rata-rata masyarakat bisa menghasilkan 3000 buah kelapa setiap kali panen, maka penghasilan masyarakat hanya mencapai Rp2,5 juta per bulan. Itu pun, kata Adlin, belum dipotong biaya panen dan sebagainya, sehingga penghasilan masyarakat yang menanam, bersih, hanya sekitar Rp1,5 juta sebulan.
Imbas turunnya harga juga, membuat buruh panen kesulitan mendapatkan upah layak. Per hari, kata Adlin, buruh petik saat ini paling banyak penghasilannya Rp50 ribu, dan dipotong biaya bensin dan lainnya, per hari bisa hanya mendapatkan Rp30 ribu. “Karena itu dari pihak Istana, kami berharap bisa bertindak konkret,” katanya.
Saat petani juga mengalami dilema, ketika harga kopra jatuh, mereka ada yang beralih ke sawit, sejak 10 tahun silam. “Namun, saat panen, sekarang pun harga sawit jatuh, padahal biaya merawat sawit juga lebih mahal dari merawat kelapa,” katanya.
Salah satu harapan petani adalah, pemerintah mau membangun pabrik yang dikelola oleh petani sehingga bisa menetapkan harga secara wajar untuk mengatasi permainan harga oleh lima perusahaan yang ada. “Jika ada pabrik dengan kapasitas 50 ton per hari, kami ada sekian ribu petani, sekian ratus pengepul, mampu memasok untuk mencapai kapasitas sebesar itu setiap harinya,” kata Adlin.
Dewan Penasehat asosiasi Halim Dalimunthe menambahkan, mulanya masyarakat Asahan senang dengan kehadiran perusahaan pengilangan minyak dan pembuatan tepung kelapa di Asahan. Mula-mula, kata Halim, ada tiga perusahaan yang berdiri yaitu PT Pelita, PT Sumatera Baru, dan PT ASA. “Mereka beroperasi sejak lama, membeli kopra dari masyarakat sudah sekitar 50 tahun ini,” ujarnya.
Kemudian belakangan berdiri PT Intan yang tak hanya memproduksi minyak kelapa tetapi juga tepung kelapa. “Masyarakat mulanya bersemangat dengan hadirnya perusahaan ini, apalagi mereka juga mengolah tepung untuk ekspor,” kisah Halim. Kemudian berdirilah perusahaan kelima yaitu PT Sejati.
Nah, setelah ada lima perusahaan ini, kata Halim, petani menduga mulai timbul persekongkolan di antara mereka. “Mereka seolah sepakat untuk memainkan harga,” kata Halim.

Menanggapi masalah ini, Khairul Akmal Siregar, penasehat asosiasi yang juga Kepala Desa Sei Kepayang Tengah menegaskan, agar pemerintah turun tangan segera agar harga kopra kembali normal dan stabil. “Saya datang ke sini membawa harapan dari 41 ribu jiwa warga saya, agar tata niaga kopra dikontrol dan diawasi pemerintah agar tidak semena-mena perusahaan memainkan harga,” ujarnya.
Adlin menambahkan, selama ini masyarakat sudah mencoba berbagai cara agar kesejahteraan mereka tetap bisa membaik meski harga jatuh. Di antaranya dengan mencoba sistem tumpang sari dengan komoditas lain seperti pisang, pinang dan sebagainya. “Tetapi karena kurang pengetahuan, hasilnya masih alakadarnya,” ujarnya.
Karena itu, dia berharap pemerintah juga bisa memberikan dana melalui kabupaten, maupun lewat dana desa agar petani bisa mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kapasitasnya dalam tata cara bertani, maupun keterampilan mengolah potensi kelapa. “Mungkin bisa ada bantuan dana per kelompok, misalnya ada kelompok pengolahan tepung, kerajinan tempurung, kayu kelapa dan sebagainya,” ujarnya.
Adlin menambahkan, keterampilan mengolah potensi kelapa memang penting, karena dia sendiri pernah melihat di Yogyakarta, meja dari batang kelapa bisa berharga mahal. “Di Yogyakarta, dua meter bisa puuhan juta, sedangkan di kami hanya sekedar ditebang, per batang dijual paling harganya 200 ribu rupiah saja,” tambahnya.
Sementara itu, anggota Dewan Penasehat Asosiasi Awalluddin Sirait berharap agar pemerintah membantu kepada petani, melalui asosiasi petani kopra, berupa alat mesin yaitu pengadaan eskavator. “Karena eskavator ini adalah upaya untuk meningkatkan mutu dan kualitas petani kelapa agar hasilnya baik,” ujarnya.
Eskavator menurut Awalluddin, penting untuk perawatan kanal atau saluran air. “Ini penting agar hasil panen meningkat dan kualitas kelapa menjadi baik,” tambahnya.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Abdul Gafur Ritonga menegaskan, pemerintah memang harus cepat bertindak mengatasi permasalahan harga ini. Terlebih saat ini memasuki tahun politik yang rawan terhadap masalah keamanan. “Anjloknya harga kopra ini sudah membahayakan masyarakat, ibarat pepatah, perut sejengkal, jika tidak terisi, apapun bisa terjadi, harus ada solusi agar masyarakat tenteram dan nyaman,” ujarnya.
Komoditas kopra, kata Gafur, memang sangat penting karena 80 persen penduduk Asahan berpenghasilan dari bertanam kelapa. “Mereka sudah mengusahakan pertanian kelapa dan kopra sejak sebelum Indonesia merdeka,” jelasnya.
Dia menegaskan setuju agar pemerintah membangun pabrik baru yang ditangani pemerintah sebagai langkah konkret. “Kalau tetap oleh swasta, maka harga akan tetap dimonopoli mereka,” tegas Gafur, yang juga calon anggota DPRD Sumatera Utara, nomor urut 8, dari Partai Golkar itu.
Selama ini, kata dia, tidak ada keterbukaan dari pihak pabrik terkait berapa harga produksi minyak dan tepung kelapa di kilang dan berapa harga jualnya ke pasaran ekspor. “Sekarang kan masyarakat bingung, ini produk di ekspor, harga dolar tinggi, tetapi kenapa harga kelapa di tingkat petani tetap rendah,” ujarnya.
Menanggapi pengaduan petani, Iwan Nurdin mengaku mengapresiasi kehadiran para petani kopra Asahan yang datang dengan usulan konkret berupa pembangunan pabrik baru. “Tentu dari kami, akan segera kami tindak lanjuti, terutama soal harga akan kami selidiki apakah memang ini akibat kartel atau ada juga pengaruh penurunan harga komoditas ekspor,” ujarnya.
Dia menjelaskan, komoditas ekspor seperti sawit, karet dan kopra memang sedang turun. Untuk sawit dan karet, penurunan terjadi akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. “Produksi meningkat, sementara permintaan dari AS, China dan Eropa turun, sehingga harga anjlok,” ujarnya.
Pihak KSP, kata Iwan, akan mempelajari apakah turunnya harga kopra juga terjadi karena hal ini, atau memang benar akibat dugaan adanya kartel di antara kilang-kilang minyak kelapa di Asahan. Kemudian, terkait usulan membuat pabrik, pihak KSP juga akan mencatat soal kesediaan petani menjamin bahan baku untuk memasok secara kontinyu. “Kami akan membuat laporan ke deputi, agar segera disampaikan dan bisa menjadi keputusan dari presiden,” katanya.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Ketua Asosiasi Petani Kelapa/Kopra se-Kabupaten Asahan H. Ahmad Syafi’i, Bendahara Asosiasi Zeki Fahmi Simangunsong, dan dua orang anggota dewan penasehat yaitu Awalluddin Sirait dan Husni Panjaitan.
Laporan/Foto: Feri Anza Zaina, SH, warga Sei Kepayang, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Jurnalis Warga untuk Villagerspost.com