Kebijakan Perlindungan Bank Dunia Ancam Lingkungan dan Masyarakat Rentan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Bank Dunia dihujani kritik lantaran mengeluarkan kebijakan perlindungan baru yang justru akan berdampak pada melemahnya perlindungan terhadap masyarakat terdampak dan juga lingkungan pada saat yang bersamaan. Lewat kebijakan barunya itu, Bank Dunia cenderung mendanai proyek-proyek berisiko tinggi. Hal inilah yang dikritik 19 lembaga internasional termasuk Oxfam.
Usulan perlindungan baru Bank Dunia itu terdiri dari dua bagian yang terpisah, yaitu Kebijakan Lingkungan dan Sosial (ESP) dan Standar Lingkungan dan Sosial (ESS). Pemisahan antara masalah lingkungan dan sosial ini dinilai akan membawa masalah baru terkait bagaimana nantinya proposal ini dilaksanakan.
Banyak pihak khawatir dalam proses peminjaman di Bank Dunia nanti, para peminjam akan bisa menghindari kewajiban meyakinkan bahwa proyek yang didanai itu tidak akan merusak lingkungan sekaligus berdampak buruk pada kelompok rentan seperti masyarakat adat dengan adanya pemisahan ini.
Proposal baru terkait Kerangka Kerja Perlindungan Lingkungan dan Sosial itu sangat bertolak belakang dengan komitmen Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim untuk memastikan kebijakan baru Bank Dunia tidak akan melemahkan kewajibat atas perlindungan sosial dan lingkungan yang sudah ada.
Sebagai tambahan, kerangka kerja yang tengah diusulkan ini tidak akan mencakup bagian mendasar dari portofolio Bank Dunia, termasuk mendanai pinjaman berbasis kebijakan yang sensitif bagi sektor sosial dan lingkungan. Terlepas dari banyaknya tuntutan, Bank Dunia juga dinilai gagal untuk membuat detil pendanaan publik terkait pelaksanaan rencana yang diusulkan tersebut.
“Syarat dan kewajiban, insentif, struktur akuntabilitas dan rincian anggaran sangat tidak memadai dalam kerangka kerja yang diusulkan itu, padahal ini yang kita perlukan jika kita serius ingin menyelesaikan masalah yang saling terkait dengan kemiskinan, perubahan iklim, deforestasi dan kehilangan kekayaan hayatu,” kata Korina Horta dari lembaga Urgewald Jerman, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (7/8).
Seperti diketahui, sebelumnya berdasarkan laporan yang dikeluarkan Oxfam bersama beberapa organisasi lainnya terungkap, triliunan dolar uang yang dikucurkan Bank Dunia melalui lembaga keuangan internasional (International Finance Corporation–IFC), ternyata malah menyengsarakan penduduk di negara dunia ketiga yang mendapat kucuran dana itu.
Laporan itu mengungkapkan, portofolio investasi IFC meningkat hingga US$36 Triliun dalam empat tahun belakangan ini. Angka tersebut tiga kali lebih besar dari pinjaman Bank Dunia untuk pendidikan. Ketimpangan seperti ini mendesak untuk segera diperbaiki. Selama ini para perusahaan atau lembaga keuangan internasional itu memiliki akuntabilitas yang rendah atas triliunan dolar uang hasil investasi di bank, dana investasi global dan dana-dana simpanan lainnya. Hal ini telah berdampak ada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.
Dalam laporan bertajuk “The Suffering of Other” alias menyengsarakan orang lain itu, Oxfam menyebutkan IFC, (yang merupakan sektor swasta Bank Dunia di sektor pemberi pinjaman) gagal melaksanakan uji tuntas (due diligence) dan untuk mengidentifikasi atau secara efektif mangelola risiko atas berbagai investasinya kepada para peminjam di negara dunia ketiga.
“Hal yang paling menyakitkan adalah IFC tidak mengetahui kemana kebanyakan uang yang dipinjamkan di bawah model baru ini berakhir atau bahkan mengetahui apakah pinjaman tersebut menolong atau justru melukai,” kata Kepala Oxfam Internasional kantor Washington DC Nicolas Mombrial dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, beberapa waktu lalu.
Temuan mengkhawatirkan lainnya adalaj dari 49 investasi yang dibuat IFC lewat lembaga keuangan perantara sejak 2012 diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi, dan hal ini tidak tidak pernah diungkap ke publik. “Ini artinya tidak ada informasi publik terkait kemana 94% dari investasi risiko tinggi IFC berujung. Sampai grup Bank Dunia membuktikan kesepakatan ini mempunyai dampak yang legitimate dan tidak menimbulkan pelanggaran, IFC harus menyeyop investasi ke negara dunia ketiga berisiko tinggi,” kata Direktur Legal Inclusive Development International Natalie Bugalski..
Untuk pertama kali, laporan itu mengumpulkan studi-studi yang telah diterbitkan sebelumnya atas proyek-proyek yang menyebabkan konflik dan penderitaan bagi penduduk lokal. Laporan itu termasuk pinjaman untuk proyek perkebunan karet, tebu dan sawit di Kamboja, Laos dan Honduras, pembangunan bendungan di Guatemala dan pembangkit listrik di India.
Laporan tersebut mengungkapkan, proyek-proyek berisiko lainnya termasuk penambahan pembangkit listrik di Papua Barat, Laos dan Guatemala, pertambangan di Vietnam dan perkebunan gula di Guatemala. “Kami ingin Bank Dunia mengetahui bahwa uang yang mereka kucurkan digunakan untuk menghancurkan kehidupan kami. Saat ini kami dikepung perusahaan. Mereka telah merebut lahan komunitas kami dan hutan. Kami khawatir berikutnya tidak akan ada lagi lahan tersisa dan kami akan kehilangan identitas kami. Apakah Bank Dunia beripikir seperti ini yang dinamakan pembangunan?” kata seorang perwakilan dari komunitas yang terdampak seperti dikutip dari laporan tersebut.
Dengan draf lama yang menyatukan penjaminan agar pinjaman Bank Dunia tak merusak lingkungan sekaligus sosial saja, dampak buruk itu terjadi. Saat ini dikhawatirkan, dengan adanya pemisahan tersebut, maka dampak itu akan semakin buruk.
Rancangan baru itu misalnya, menghapuskan uji kelayakan, menghapus kewajiban persyaratan waktu dan prosedur untuk menjamin kelayakan peminjam dan secara efektif mencopoti perlindungan sosial dan lingkungan untuk masyarakat terdampak yang berlaku selama 30 tahun ini. “Diluncurkannya rancangan ini menunjukkan manajemen Bank Dunia telah mengacaukan komitmen Presiden Kim untuk menegaskan untuk tidak melemahkan perlindungan sosial dan lingkungan,” kata Stephanie Fried dari ‘Ulu Fooundation, sebuah lembaga lingkungan di Amerika Serikat.
Terlepas dari komitmen Bank Dunia untuk menurunkan suhu panas dan menutup celah kekurangan pendanaan perubahan iklim sebesar US$70 miliar, namun proposal baru ini malah menghapus perlindungan hutan, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang tergantung pada hutan. Draf baru ini jelas sangat minim komponen penting untuk perlindungan terhadap perubahan iklim.
“Dengan menghapuskan perhitungan ambang batas emisi gas rumah kaca dan memindahkannya ke catatan panduan yang tidak mengikat, Bank Dunia mempersilakan peminjam untuk menghilangkan perlindungan perubahan iklim dan menghindari perhitungan polusi karbon sebagai langkah pertama menghadapi perubahan iklim,” kata Makoma Lekalakala dari Earthlife Africa di Johannesburg, Afrika Selatan.
“Bank Dunia mengajukan (draf) untuk menggantikan kewajibannya untuk perlindungan dan mekanisme akuntabilitas dengan menyamarkan aspirasi standar dan sangat bergantung kepada sistem nasional peminjam dan bahkan kepada para ‘perantara finansial’ yang buram,” kata Cesar Gamboa dari Derecho Ambiente y Recursos Naturales di Peru.
Dia bilang, pada saat yang bersamaan Bank Dunia juga menyilakan penggunaan kekerasan berdalih pencegahan oleh pasukan pengamanan. “Ini sangat jelas berisiko terhadap komunitas lokal,” tambahnya.
Dalam draft dokumen-dokumen yang baru, hak asasi manusia disebutkan tiga kali. Pernyataan niat menegaskan bahwa “operasi Bank Dunia mendukung hak asasi manusia dan akan mendorong penghormatan terhadap hak-hak ini dengan cara yang selaras dengan Memorandum Kesepakatan (Articles of Agreement) Bank Dunia.”
Dalam ESS3 mengenai standar tenaga kerja, dinyatakan bahwa “pekerja akan diberikan informasi yang … akan menetapkan hak-hak mereka di bawah hukum perburuhan dan ketenagakerjaan nasional”; dan akhirnya di dalam ESS7 diakui bahwa “status ekonomi, sosial, dan hukum” masyarakat adat seringkali membatasi kemampuan mereka untuk membela hak-hak mereka untuk, dan kepentingan mereka dalam, tanah, wilayah dan sumber daya alam dan budaya”.
Dari semua, hanya ada satu yang berisi tanggung jawab yang telah diidentifikasi berkaitan dengan rujukan pada hak – yaitu dalam hal hak-hak pekerja di mana pekerja harus diinformasikan akan hak-hak ini oleh pihak peminjam. Dalam dua kasus lainnya komitmennya tidak jelas.
Bank Dunia berpendapat bahwa hak asasi manusia dilindungi dalam praktik tanpa referensi yang eksplisit, namun argumen ini menghadapi tantangan-tantangan serius. Salah satu tantangannya adalah menyangkut penyertaan apa yang disebut ‘pendekatan alternatif’ di mana pemerintah dapat meminta pengabaian (waiver) keseluruhan ESS7 yang merupakan standar masyarakat adat.
Seraya mengakui perlunya perlindungan khusus bagi masyarakat adat, Bank Dunia secara bersamaan memperkenalkan sebuah mekanisme untuk menangguhkan perlindungan tersebut, penangguhan yang mungkin diminta oleh pemerintah yang diharapkan memberikan perlindungan yang paling dibutuhkan.
Kate Geary dari Oxfam menjelaskan bagaimana dampak dari proposal itu atas hak pemilikan lahan. Dia mengatakan, internal audit baru-baru ini secara telanjang telah memperlihatkan rekam jejak yang mengerikan dari Bank Dunia terkait perlindungan terhadap penduduk dari upaya pemindahan paksa mereka dari rumah-rumah mereka dan penghidupan mereka sebagai dampak dari proyek yang didanai Bank Dunia.
“Draf tersebut sangat sedikit sekali meyakinkan bahwa masalah-masalah ini akan bisa dipecahkan seiring Dewan akan diminta untuk menytujui proyek-proyek yang menyebabkan terjadinya pemindahan paksa penduduk bahkan sebelum tempat penampungan dan dananya disediakan,” kata Geary.
David Pred dari Inclusive Development International menambahkan standar usulan pemindahan menegasikan hak-hak dan jaminan pemulihan penghidupan jutaan penduduk yang akan musnah sebagai hasil dari proyek semodel pembangunan bendungan besar dan proyek infrastruktur lainnya. Mereka juga kehilangan hak untuk mendapatkan keuntungan dari pembangunan. “Ini adalah resep untuk mempertajam ketidakadilan,” kata David.
Proposal ini jelas tidak sejalan dengan tujuan Bank Dunia untuk mempromosikan kesejahteraan bersama dan mengakhiri kemiskinan ekstrem serta pembangunan berkelanjutan. Karena itu para aktivis, akademisi dan banyak ahli mendesak agar proposal ini diperbaiki sebelum dilakukan persetujuan akhir yang dijadwalkan dilakukan pada akhir tahun 2015 ini. (*)