Kemitraan Inti-Plasma Tambak Garam Rugikan Petambak

Petambak garam mengangkut hasil panen (dok. kkp.go.id)
Petambak garam mengangkut hasil panen (dok. kkp.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) meminta pihak Kementerian Perdagangan untuk berhati-hati dengan rencana membangun skema inti-plasma tambak garam. Meski niatnya untuk mendorong kemandirian produksi garam rakyat dan menekan impor garam, namun skema itu bisa merugikan.

Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi KIARA Susan Herawati mengatakan, skema investasi usaha inti plasma tambak garam justru membuat tiga juta petambak garam, baik laki-laki dan perempuan. “Mereka menjadi serba tergantung, diantaranya kepada perusahaan atau korporasi dan perbankan,” kata Susan, Selasa (9/8).

Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016) mencatat, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh petambak garam. Pertama  adalah minimnya sarana dan prasarana di tambak garam. Kedua, buruknya akses air bersih dan sanitasi di tambak garam. Ketiga, minimnya intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam. Keempat, besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam. Kelima, harga garam yang rendah.

Kelima permasalahan yang dihadapi oleh petambak garam di atas semakin diperburuk dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam yang berlaku sejak Desember 2015. Dalam beleid itu diatur, impor garam industri tidak dikenakan bea masuk.

“Menteri perdagangan mesti melakukan audit internal di kementeriannya. Karena carut-marut pengelolaan garam nasional disebabkan oleh ketidakberpihakan Kementerian Perdagangan kepada petambak garam nasional,” tegas Susan.

Seperti diketahui, Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam mengamanahkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melindungi dan memberdayakan petambak garam.
Dalam konteks perlindungan, pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban untuk: Pertama, penyediaan prasarana dan usaha pergaraman. Kedua, kemudahan memperoleh sarana usaha pergaraman.

Ketiga, jaminan kepastian usaha. Keempat, jaminan risiko pergaraman. Kelima, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi. Keenam, pengendalian impor komoditas pergaraman. Ketujuh, jaminan keamanan dan keselamatan. Kedelapan, fasilitasi dan bantuan hukum.

Senada dengan itu, dalam konteks pemberdayaan, pemerintah pusat dan daerah berkewajiban untuk: (a) pendidikan dan pelatihan; (b) penyuluhan dan pendampingan; (c) kemitraan usaha; (d) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan (e) penguatan kelembagaan.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, pola kemitraan usaha yang mencerminkan jiwa gotong-royong di dalam masyarakat petambak garam adalah koperasi, bukan inti-plasma. Apalagi sudah ada pengalaman pahit sebagaimana dialami oleh pembudidaya udang di Bumi Dipasena, Lampung.

“Perusahaan selaku inti melakukan wanprestasi, namun pembudidaya (plasma) harus menanggung akibat pelbagai pelanggaran yang dilakukan Inti. Pendek kata, skema inti-plasma merupakan praktik eksploitasi manusia atas manusia. Oleh karena itu, perlu difasilitasi pembentukan koperasi-koperasi petambak garam,” kata Halim.

Halim meminta menteri perdagangan segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam karena bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Dalam pasal tersebut ditegaskan: “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan upaya Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam“.(*)

Ikuti informasi terkait petambak garam >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.