Kemnaker Lalai, Nelayan RI Jadi Korban Perbudakan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Kementerian Tenaga Kerja dinilai lalai dalam memberikan perlindungan terhadap buruh migran. Akibatnya banyak nelayan yang bekerja pada kapal ikan asing menjadi korban perbudakan. Hal itu disampaikan para aktivis Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace dalam aksinya di kantor Kemnaker, hari ini, JUmat (9/12).
Dalam kesempatan itu SBMI dan Greenpeace mendesak Kemnaker) untuk melakukan perbaikan kebijakan penempatan dan perlindungan buruh migran anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing di luar negeri. Aksi ini dilakukan sehari sebelum peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) dunia yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 10 Desember.
Kemnaker selama ini dipandang lalai menjalankan kewajiban dan kewenangannya untuk melindungi nelayan Indonesia dari kejahatan perdagangan manusia. Merujuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 (Pasal 1), ABK yang bekerja di kapal ikan asing termasuk buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.
Keselamatan jiwa dan hak-hak nelayan Indonesia yang bekerja di atas kapal ikan asing di luar negeri seringkali terabaikan hingga menyebabkan sebagian besar diantaranya juga terjebak dalam kegiatan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing).
Ketua Umum SBMI Hariyanto mengungkapkan, kelalaian tersebut disebabkan oleh tumpang tindihnya kewenangan antar kementerian dan lembaga negara. “Akibatnya, penempatan nelayan Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing sarat dengan praktik-praktik perdagangan manusia dan perbudakan di atas kapal ikan,” ujarnya.
Kelalaian tersebut, kata Hariyanto, jelas terbukti dengan tidak mampunya Kemnaker selama 12 tahun untuk menerbitkan regulasi turunan yang dimandatkan oleh Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri. Pasal itu menegaskan: “Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri“.
Selain itu, Kemnaker juga mengabaikan Pasal 337 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal itu menegaskan: “Ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan“.
Kelalaian Kemnaker berujung pada kekisruhan tata kelola penempatan dan perlindungan buruh migran ABK dengan terbitnya Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 3 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013. Kedua peraturan ini secara prinsip dan substantif telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
“Tumpang tindih kewenangan tersebut menyebabkan berbagai dampak yang sangat merugikan buruh migran ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing,” kata Hariyanto.
Diantaranya, prosedur penempatan ABK yang tidak beres, lempar tanggungjawab perlindungan dan penanganan kasus ABK yang menghadapi persoalan di luar negeri, dan terjebaknya ABK dalam kegiatan IUU Fishing.
Saat ini Indonesia adalah negara pengirim buruh maritim terbesar ketiga di seluruh dunia, dengan jumlah mencapai lebih dari 200 ribu orang. Dari jumlah tersebut, 77 persennya adalah buruh migran yang menjabat ABK kapal ikan.
Sisanya adalah buruh yang menjabat sebagai ABK di kapal kargo, pesiar dan lainnya. “Meski jumlahnya terbesar, namun nasib ABK kapal ikan inilah yang paling tidak terlindungi dan paling rentan diantara buruh maritim lainnya,” pungkas Hariyanto.
Ikuti informasi terkait perbudakan >> di sini <<