KIARA: Ahok Terbukti Menyalahgunakan Wewenang
|
Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah terbukti menyalahgunakan wewenangnya dalam proyek reklamasi teluk Jakarta. Hal itu terungkap dari kesaksian Ahok sendiri dalam persidangan kasus suap reklamasi dengan terdakwa Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi dan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.
Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, Pusat Data dan Informasi KIARA pada Juli 2016 mencatat, ada empat bentuk penyalahgunaan kewenangan yang mengemuka di dalam persidangan itu. Pertama, terkait reklamasi teluk Jakarta, Ahok bersaksi, pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan kewenangan dan tanggung jawab Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Hal itu, menurut Halim, terbantahkan karena Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dinyatakan tidak berlaku dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. “Dengan pencabutan ini, maka kewenangan dan tanggung jawab Gubernur DKI Jakarta gugur,” kata Halim dalam keterangan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Jumat (29/7).
(Baca juga: KIARA: Kesaksian Ahok Soal Reklamasi Banyak Kebohongan)
Kedua, kata Halim, dalam kesaksiannya di persidangan, Gubernur DKI Jakarta merasa masih memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menjalankan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Hal itu, kata Halim, merupakan klaim tidak berdasar. “Ada dua alasan bahwa klaim itu tidak berdasar,” terang Halim.
Pertama, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Kawasan JABODETABEKPUNJUR telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Kedua, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menegaskan, hanya Menteri Kelautan dan Perikanan yang berwenang menerbitkan Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi di Kawasan Strategis Nasional Tertentu dan perairan pesisir di dalam Kawasan Strategis Nasional (Pasal 5).
Kemudian, kata Halim, dalam catatan KIARA, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan empat Izin Pelaksanaan Reklamasi sebagai berikut:
– Pemberian Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014
– Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo tertanggal 22 Oktober 2015;
– Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Ekapaksi tertanggal 22 Oktober 2015; dan
– Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, tertanggal 17 November 2015.
Keluarnya SK izin pelaksanaan reklamasi ini, kata Halim, juga termasuk pelanggaran wewenang karena dua alasan. Pertama, kewenangan pemberian Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi merupakan kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan, bukan Gubernur DKI Jakarta.
Hal itu tegas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Kawasan JABODETABEKPUNJUR ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional, dan (c) Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kedua, Gubernur DKI Jakarta berkewajiban untuk menyelesaikan Rancangan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai di Jakarta Utara. “Hal ini diatur di dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” terang Halim.
Pasal 17 UU Nomor 27 tahun 2007 mengatur:
(1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
Kemudian, menurut Halim, Ahok dalam kesaksiannya, merasa benar dan melakukan diskresi berkenaan dengan tambahan kontribusi sebesar 15 persen kepada pengembang. “Ini juga merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang,” tegas Halim.
Pasalnya, dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 34 ayat (1) diatur, reklamasi di wilayah pesisir hanya boleh dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya.
Bertolak dari ketentuan perundang-undangan di atas, nyata Ahok mengabaikan keberadaan 56.309 rumah tangga nelayan, termasuk di Jawa Barat dan Banten. Kemudian, pengelolaan wilayah pesisir harus ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat seluruhnya, bukan pengembang properti.
“Perspektif dagang yang dipergunakan oleh Gubernur DKI Jakarta dalam pengelolaan wilayah pesisir bertentangan dengan Putusan No. 3 Tahun 2010 tentang Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,” pungkas Halim.
Ikuti informasi terkait reklamasi >> di sini <<