KIARA: Cantrang Dilarang, Reklamasi dan Pertambangan di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Juga Harus Dilarang

Nelayan menangkap ikan (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Kontroversi implementasi pelarangan alat tangkap yang dianggap merusak lingkungan seperti cantrang tengah merebak. Pelarangan itu telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2015 tentang Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang telah dirubah menjadi Permen KP No 71 tahun 2016.

Terkait masalah ini, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk tetap memikirkan kesejahteraan dan ruang penghidupan bagi jutaan nelayan tradisional Indonesia. Pusat Data dan Informasi KIARA (2017) mencatat sejumlah respons nelayan terkait proses implementasi dari kebijakan pengaturan alat penangkapan ikan ini.

Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sampai saat ini belum melakukan program peralihan kebijakan alat tangkap dengan maksimal. DKP setempat baru melakukan pergantian alat tangkap pada bulan Maret 2017.

Fakta di lapangan ditemukan kurang lebih 1.360 nelayan Indramayu yang harus mendapatkan pergantian alat tangkap. Namun ironisnya baru 320 nelayan yang memperoleh pergantian alat tangkap. Tak sigapnya DKP Kabupaten Indramayu menjadi penyebab menumpuknya persoalan pergantian alat angkap pada akhir batas waktu implementasi. Dampaknya, nelayan tak memiliki pilihan lain selain memakai alat tangkap yang lama, dikarenakan lambatnya proses pergantian alat tangkap dari pemerintah.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyampaikan sejumlah temuan, diantaranya nelayan arad di Kabupaten Kendal Jawa Tengah yang telah mendaftar peralihan alat tangkap merasa bahwa alat tangkap baru tidak sesuai dan tidak dapat digunakan untuk menangkap ikan. Akibatnya, dengan alat yang baru ini nelayan Kendal tidak dapat menghasilkan tangkapan ikan.

“Pada saat bersamaan, kami melihat pro dan kontra akan terus bergulir. Nelayan-nelayan di Kabupaten Jepara, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Serdang Bedagai menunjukkan respon persetujuan atas adanya peraturan pelarangan alat penangkapan ikan yang diatur dalam peraturan menteri. Hal ini harus disikapi dengan bijak tentunya,” kata Susan, di Jakarta, Kamis (18/1).

Sugeng Triyanto, Perwakilan dari Forum Nelayan Jawa Tengah menyatakan, nelayan pada umumnya sepakat mengelola laut secara berkelanjutan, namun pelarangan tetap harus ada jalan keluar yang menyejahterakan. “Bagi kami yang terpenting adalah bagaimana laut tetap dikelola secara berkelanjutan, karena laut bukan hanya untuk kita yang hidup hari ini, melainkan juga untuk anak cucu kita,” ujarnya.

Dia mengatakan, kebijakan pelarangan alat tangkap seharusnya didasari komitmen untuk mengatur pengelolaan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Sayangnya, dalam skema implementasi kebijakan tersebut, KIARA mencatat adanya beberapa hal yang membuat kebijakan ini masih memerlukan waktu untuk diterapkan.

Pertama, adanya permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap yang belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan. “Implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda,” kata Susan.

Kedua, kebijakan alat tangkap tidak dimasukkan dalam konteks yang lebih luas, dengan kebijakan lainnya. Ekosistem perairan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan karenanya penegakan dan penindakan hukum di lapangan tidak bisa terbatas hanya kepada nelayan yang yang dilarang oleh kebijakan. Namun juga konsisten kepada seluruh aktivitas pengelolaan kelautan dan perikanan seperti reklamasi, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil yang pada dasarnya sama merusak ekosistem perairan.

“KIARA menilai adanya kesenjangan antara semangat dari kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan melalui kebijakan alat penangkapan ikan dengan implementasiya. Skema implementasi belum melihat disparitas kebutuhan dan kemampuan serta konteks keragaman dari masyarakat pesisir baik dalam aspek sosiologis, geografis, maupun ekonomi politik,” pungkas Susan. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.