KIARA: Hapus Praktik Privatisasi Air dan Solusi Palsu Reklamasi

Aksi warga Jakarta menuntut dihentikannya praktik privatisasi air (dok. kiara)

Jakarta, Villagerspost.com – Pada perayaan Hari Air 2017, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) masih mendapati fakta tentang buruknya akses masyarakat pesisir terhadap air bersih. Akibatnya, masyarakat pesisir yang tinggal di 10.666 desa pesisir harus mengeluarkan biaya besar sekadar untuk mengonsumsi air bersih. Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA Arman Manila menjelaskan, air bersih adalah hak dasar warga negara seperti yang tertuang pada Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.

“Namun yang terjadi adalah privatisasi, minimnya sarana pelayanan dan buruknya kualitas lingkungan di kampung-kampung nelayan membuat masyarakat pesisir harus membeli air bersih tiap hari,” kata Arman dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Selasa (22/3).

Data mengungkapkan, tiga perempat dari permukaan bumi ditutupi dengan air. Namun 98% adalah air asin dan tidak bisa di konsumsi. Kurang dari 1% dari semua air di Bumi adalah air tawar yang dapat dikonsumsi manusia. FAO (2012) memperkirakan kebutuhan tiap orang terhadap air minum bersih sebanyak 2-4 liter per hari. Di sisi lain, untuk memproduksi makanan 1 orang per hari membutuhkan air sebanyak 2.000-5.000 liter.

Sulitnya akses terhadap air ini untuk skala nasional, sudah terjadi sejak lama di kawasan kampung nelayan Muara Baru dan Marunda, Jakarta Utara. Untuk memenuhi kebutuhan minum dan memasak, keluarga nelayan harus membayar sebesar Rp10.000 untuk mendapatkan air bersih sebanyak 100 liter tiap harinya. Padahal, penghasilan mereka hanya Rp25.000/hari atau Rp750.000 dalam sebulan.

Hal yang sama pun dialami oleh keluarga nelayan di Gresik, Jawa Timur, mereka harus menyiapkan biaya sebesar Rp15.000 dari kisaran pendapatan sebesar Rp20.000-Rp40.000/hari untuk 100-liter air bersih. Demikian pula keluarga nelayan di Bengkalis, Kepulauan Riau. Setiap keluarga nelayan harus mengalokasikan minimal Rp8.000 dari kisaran pendapatan sebesar Rp20.000–Rp50.000/hari untuk mendapatkan 30-liter air bersih.

Sayangnya, bukannya perbaikan pelayanan air bersih yang didapatkan nelayan melainkan privatisasi air yang semakin merugikan keluarga nelayan dan masyarakat lain yang mengalami kesulitan akses atas air. “Di Jakarta, pemprov malah memberikan solusi palsu terhadap gagalnya pengelolaan air Jakarta melalui proyek pembuatan tanggul raksasa Giant Sea Wall dan tetap membangun 17 pulau palsu,” kata Arman.

Proyek Giant Sea Wall dan reklamasi pantai utara Jakarta diklaim sebagai solusi untuk mengatasi banjir sekaligus menyediakan sumber air baku bagi layanan air warga Jakarta. Namun, Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan fakta bahwa reklamasi justru akan merampas hak 25.000 kepala keluarga masyarakat pesisir di Teluk Jakarta.

“Proyeksi menahan gelombang laut yang masuk ke wilayah daratan sekaligus menampung limpahan air sungai melalui proyek normalisasi sungai bukan solusi yang dapat mengembalikan hak masyarakat pesisir atas air bersih,” tegas Arman.

Deputi Pengelolaan Program KIARA Susan Herawati menambahkan, air seharusnya dikelola pemerintah untuk rakyat, bukan untuk pengusaha. “Masyarakat tidak butuh solusi palsu dari pemerintah, baik melalui reklamasi atau pun privatisasi air,” tegas Susan.

Terkait masalah ini, KIARA mendesak pemerintah untuk menghentikan praktik privatisasi dan komersialisasi sumber daya air yang berpotensi mendiskriminasi pemenuhan hak dasar warga negara, termasuk masyarakat pesisir. Susan mengingatkan, negara bertanggung jawab, menjamin hak serta akses masyarakat pesisir atas air bersih. “Dan tidak lagi meneruskan kegagalan pengelolaan air untuk rakyat melalui solusi-solusi palsu,” pungkas Susan. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.