KIARA: Ironi Hari Nelayan, Perlindungan Nelayan Tradisional Masih Lemah
|
Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menilai, pemerintah masih belum menjalankan amanat undang-undang untuk melindungi para nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Hal ini merupakan ironi dalam peringatan Hari Nelayan tahun 2023 ini.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, berbagai hal tentang nelayan dan perempuan nelayan ini seharusnya menjadi perhatian khusus. Negara harus menjalankan mandat konstitusi dalam melindungi dan memberdayakan nelayan sebagai pahlawan protein pangan laut bangsa.
“Realita yang terjadi saat ini sangat bertentangan dengan konsep perlindungan dan pemberdayaan nelayan sebagai pemegang hak utama dalam ruang pesisir dan laut. Bahkan, tahun 2023 disambut dengan lahirnya Perppu Cipta Kerja, disambut juga dengan lahirnya Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur yang mana kedua kebijakan tersebut kontradiktif dengan keberlanjutan profesi nelayan tradisional/kecil,” tegas Susan, kepada Villagerspost.com, Kamis (6/4).
Bahkan, kata Susan, dari sisi pendataan saja, negara tidak mampu menyajikan data akurat terkait jumlah nelayan. Berdasarkan data BPS tahun 2022 yang bersumber dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah nelayan yang beraktivitas di laut tahun 2020 sebanyak 2.359.064 jiwa. Angka ini hampir dua kali lipat jumlah nelayan yang terdata pada data kependudukan Kemendagri yang berbasis E-KTP di tahun yang sama yaitu sejumlah 1.360.263 jiwa.
Sedangkan nelayan yang sudah terdaftar Kartu Kusuka pada tahun 2022 tercatat 1.563.433 jiwa. Jika dilihat menggunakan data KKP pada tahun 2022, kurang lebih 700.000 jiwa nelayan sesuai data di tahun 2020 belum difasilitasi sebagai pelaku usaha perikanan. “Perbedaan jumlah nelayan yang cukup besar antara data Kemendagri dengan data KKP, selain memperlihatkan tak ada angka pasti jumlah nelayan di Indonesia, tentu memperlihatkan buruknya sistem pendataan nelayan baik oleh Kemendagri maupun KKP sendiri,” papar Susan.
“Dengan ketidakjelasan data nelayan di Indonesia kita perlu mempertanyakan bagaimana dan untuk siapa sesungguhnya progam pembangunan kelautan dan perikanan yang dikemas sebagai blue economy,” tambah Susan.
Belum lagi, kata Susan, data nelayan baik dari KKP maupun data kependudukan di Kemendagri juga kerap tidak mengakomodasi pengakuan perempuan nelayan sebagai nelayan. Terlebih pada data kependudukan yang sejatinya merupakan identitas pengakuan kewarganegaraan, yang akomodasi pengakuan sebagai nelayan ini tidak hanya akan berimplikasi pada aspek politik, melainkan juga meluas ke aspek sosial, ekonomi, dan budaya bagi perempuan nelayan dalam masyarakat.
“KIARA mencatat beberapa kasus di berbagai daerah, dimana ketika perempuan berusaha merubah data pekerjaannya sebagai nelayan pada identitas kependudukan mengalami hambatan dan terkadang dipersulit,” ujar Susan.
Susan mengingatkan, Hari Nelayan yang jatuh pada tanggal 6 April merupakan momentum penting di perjalanan panjang Indonesia dalam pengakuan terhadap profesi nelayan, terutama nelayan tradisional/kecil sebagai aktor yang berperan penting dalam menyediakan kebutuhan pangan laut bangsa serta sebagai penjaga keutuhan dan kedaulatan negara melalui eksistensi dan aktivitas mereka di perairan laut dan pulau-pulau terluar Indonesia.
Sayangnya, kata Susan, pada momentum Hari Nelayan 2023, kondisi perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional/kecil saat ini masih belum terjadi perubahan signifikan bahkan cenderung stagnan. Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai dinamika yang terjadi, beberapa diantaranya yaitu perampasan ruang produksi nelayan baik di darat maupun perairan, kriminalisasi dan marjinalisasi nelayan melalui regulasi, konflik horizontal terkait alat tangkap yang merusak, hingga lahirnya Perppu Cipta Kerja yang sekarang menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 2023.
Berbagai dinamika tersebut semakin mengerucutkan pertanyaan tentang realisasi komitmen pemerintah dalam perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional/kecil dan realisasi dari komitmen tersebut. Memotret berbagai dinamika tersebut, KIARA menyatakan, peringatan Hari Nelayan 2023 merupakan momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi masa kelamnya tata kelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang justru meminggirkan nelayan tradisional/kecil dari ruang hidup dan produksinya.
Kita bisa mengingat ulang berbagai kasus seperti perampasan ruang di Pulau Sangiang dan Pulau Pari oleh korporasi wisata, eksploitasi dan perusakan ruang kelola tradisional nelayan oleh nelayan cantrang di Sumatera Utara dan Kepulauan Masalembu, penimbunan pantai di Teluk Jakarta dan Pesisir Minanga, alih fungsi hutan mangrove menjadi sawit di langkat, pertambangan di perairan Pulau Rupat, Bangka, Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, Pulau Obi, hingga Penangkapan Ikan Terukur yang sedang dijalankan, tanpa adanya kajian mendalam dan scientific.
“Setiap peristiwa tersebut seharusnya bahan untuk melakukan evaluasi total terhadap aktivitas pembangunan dan investasi yang dihadirkan selama ini. Apakah dengan agenda-agenda yang telah dijalankan telah berdampak tercapainya kesejahteraan dan kedaulatan nelayan dan perempuan nelayan, atau malah agenda tersebut yang semakin menjauhkan bahkan mengubur harapan tercapainya kesejahteraan nelayan. Salah satu yang dapat membawa nelayan dalam mencapai kesejahteraan adalah dengan memberi mereka hak untuk mengelola ruang-ruangnya secara tradisional dengan berbagai praktik-praktik pengetahuan dan kearifan lokal yang telah berjalan disetiap daerah,” desak Susan.
KIARA mencatat, kebijakan Perppu Cipta Kerja yang disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023 beserta turunannya yaitu PP PIT menjadi ancaman serius bagi perlindungan ekosistem dan sumberdaya kelautan perikanan beserta aktor utamanya yaitu nelayan tradisional. “Salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh nelayan tradisional adalah perlindungan ruang kelola mereka melalui produk hukum yang dapat menjamin kemandirian nelayan dalam mengelola ruang produksinya,” kata Susan.
Kemudian, nelayan juga memerlukan kepastian bahwa pemerintah menjalankan mandat dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 yang menjamin hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta UU No. 7 Tahun 2016 yang menjamin perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan. “Selamat hari nelayan 2023 dan panjang umur nelayan tradisional Indonesia!” pungkas Susan.
Editor: M. Agung Riyadi