KIARA: Jokowi Tak Punya Itikad Baik Benahi Tata Kelola Garam
|
Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, tidak berpihak terhadap kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan petambak garam Indonesia. Sebaliknya, PP ini dinilai semakin mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini jelas-jelas hanya menguntungkan segelintir orang yang kebanyakan adalah importir.
Sekjen KIARA Susan Herawati mengatakan, dengan diterbitkannya PP tersebut, KIARA melihat pemerintah Jokowi-JK semakin kehilangan komitmen untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap komoditas perikanan dan pergaraman di Indonesia. “PP ini semakin menunjukkan rupa negara yang lebih suka impor, ketimbang memperbaiki tata kelola garam Indonesia,” ujar Susan, di Jakarta, Minggu (18/3).
Susan menegaskan, substansi PP No. 9 Tahun 2018 sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, di dalam UU 7 Tahun 2016, kewenangan pengendalian Impor komoditas perikanan dan pergaraman berada di bawah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sementara itu, di dalam PP 9 Tahun 2018, kewenangannya berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindutsrian, dan Kementerian Perdagangan. “Hal ini jelas akan terus melanggengkan ego sektoral kementerian dalam urusan impor,” terang Susan.
Kedua, UU 7 Tahun 2016 menetapkan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib impor garam dengan sangat jelas, yakni mengikuti ketentuan dan aturan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara itu, PP 9 Tahun 2018 mengaburkan yang telah ditetapkan oleh UU tersebut.
“Apalagi di dalam PP itu tidak dibahas batasan waktu impor komoditas perikanan dan pergaraman. Ini kebijakan yang sangat berbahaya,” tegas Susan.
Setelah mempertimbangkan dua hal utama ini, tambah Susan, PP 9 Tahun 2018 ini harus segera dibatalkan. “Karena jelas-jelas bertentangan dengan UU 7 Tahun 2016 sekaligus berpotensi mematikan industri perikanan dan pergaraman rakyat di Indonesia,” ujar Susan.
Di tempat yang berbeda, Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) Waji Fatah Fadhilah menyesalkan terbitnya PP No 9 Tahun 2018. Baginya, PP ini hanya semakin mempermudah impor garam ke Indonesia kapan saja tanpa mempertimbangkan waktu panen raya garam rakyat. “Kami masyarakat petambak garam kecewa dengan pemerintah,” ujarnya.
Menurut Waji, pemerintah selalu beralasan bahwa kandungan natrium klorida (NaCl) garam masyarakat tidak sampai 97 persen. Untuk membantah itu, Ia menantang pemerintah untuk berkunjung ke kebun garam miliknya di daerah Cirebon.
“Sudah lama kami mampu memproduksi garam dengan kandungan NaCl di atas 97 persen. Bahkan pada musim penghujan pun kami mampu melakukan produksi garam mencapai 200 ton,” tuturnya.
Dalam pandangan Waji, yang harus dilakukan oleh Pemerintah seharusnya adalah memperkuat usaha garam rakyat dengan cara mengimplementasikan seluruh mandat yang terkandung di dalam UU 7 tahun 2016. Sebaliknya, dengan mempermudah impor garam melalui aturan baru, justru akan mematikan usaha garam rakyat secara perlahan-lahan.
Editor: M. Agung Riyadi