KIARA: Negosiasi Iklim Jangan Menjual Bumi
|
Jakarta, Villagerspost.com – Pelaksanaan Conference of The Parties (COP)-23 United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bonn, Jerman, 6-17 November 2017 telah dimulai. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengingatkan kembali kepada para delegasi dunia untuk mengakomodir dan tidak mengorbankan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir dalam negosiasi yang akan dilakukan.
Dalam COP 23 ini, para delegasi dunia secara khusus berupaya memastikan kepentingan negaranya terakomodir dalam hasil pembahasan pengaturan rinci ‘Modality, Procedure, and Guidelines’ (MPGs) untuk pelaksanaan ‘Paris Agreement’. Paris Agreement mewajibkan seluruh Negara Pihak untuk transparan dan bertanggung-gugat (accountable) dalam melakukan aksi terkait upaya adaptai dan mitigai perubahan iklim, dimana negara yang meratifikasi dituntut untuk menerapkan seluruh ketentuan transparansi dan akuntabilitas dalam melakukan aksi mitigasi, aksi adaptasi, penggunaan dukungan pendanaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas.
“Proses negosiasi yang akan dilakukan haruslah menyuarakan kepentingan masyarakat pesisir, apalagi peranan ekosistem pesisir dan laut Indonesia telah diakui baik dalam konvensi maupun Perjanjian Paris,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (10/11).
Susan juga kembali mengingatkan hal yang sama terkait negosiasi yang berkaitan dengan Karbon Biru. KIARA mengamati, pasca Karbon biru diperkenalkan sebagai strategi potensial penurunan emisi, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, dalam prosesnya, negara pendukung Karbon Biru menunjukkan dua ambiguitas mengemuka dalam diplomasi iklim internasional. Pertama, semata-mata hendak mengambil keuntungan dari kesempatan yang ada, tanpa berpegang pada upaya menyelesaikan persoalan inti. Kedua, bersifat terbuka (serba membolehkan atau mengizinkan) terhadap hal-hal yang faktanya merugikan masyarakat lokal.
Bertambahnya utang luar negeri dan meluasnya ketidakterbukaan dalam proyek konservasi laut, seperti: COREMAP (Coastal and Marine Resources Management and Rehabilitation Program) dan CTI (Coral Triangle Initiative)—justru dianggap prestasi. Bahkan, pengusiran nelayan dari kawasan konservasi laut seolah lazim. Prinsip penyelamatan manusia ini masihlah belum secara rinci dan jelas terdapat di mekanisme Karbon Biru.
“Padahal negara manapun tak akan bisa selamatkan warganya tanpa benar-benar memastikan terjaganya sumber daya alam dan terlindunginya hak-hak komunitas agar dapat terus mencari nafkah dan melanjutkan penghidupan,” terang Susan.
Di sisi lain, selama beberapa tahun terakhir jumlah nelayan yang hilang dan meninggal akibat cuaca ekstrem terus meningkat. Di Indonesia, angka nelayan hilang di laut semakin meningkat setiap tahun. Pada tahun 2015, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat terdapat 109 nelayan meninggal. “Angka ini meningkat pada tahun 2016 dimana terdapat 145 orang nelayan meninggal dan hilang di laut,” papar Susan.
Untuk itu, kata dia, para pemimpin dunia sudah saatnya berhati-hati, sekaligus lebih progresif dalam mengambil keputusan terkait perubahan iklim mengingat jumlah korban jiwa terus meningkat. Kebijakan yang ditawarkan tambal-sulam, menawarkan solusi dengan target tidak pernah tuntas tercapai; serta terdapat kebocoran baik indikasi korupsi (seperti dalam pelaksanaan COREMAP), juga tidak tepat sasaran sebagaimana proyek CTI (Coral Triangle Initiative).
Susan menegaskan, KTT Iklim seharusnya kembali kepada kebutuhan masyarakat yaitu aksi penyelamatan, termasuk mereka yang bermukim di pesisir dan pulau-pulau kecil dengan cara mengatasi laju peningkatan emisi serta melakukan penguatan di antaranya adalah dengan mendukung adaptasi, menyediakan asuransi dan informasi iklim. “Hal ini lebih dibutuhkan oleh masyarakat pesisir daripada terus menjual laut melalui program karbon biru,” pungkas Susan Herawati. (*)